Perusahaan dalam Pandangan Fikih


Perusahaan adalah sebuah bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha bisnis dengan tujuan mencari profit (keuntungan). Sebagaimana dipahami, mencari keuntungan adalah suatu keniscayaan bagi manusia didalam kehidupan ini, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Konsep Syirkah

Definisi perusahaan dalam fikih Islam disebut syirkah yang merupakan penyertaan modal, bekerja sama dan berbagi untung rugi sesuai dengan kesepakatan bersama . Syirkah atau Musyarakah berasal dari akar kata dalam bahasa arab, syirkatan (mashdar/kata dasar) dan syarika (fi'il madhi/kata kerja) yang berarti mitra/sekutu/kongsi/serikat. Secara bahasa, syirkah berarti al-ikhtilath (penggabungan atau pencampuran). 

Definisi syirkah menurut fatwa DSN-MUI adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana setiap pihak memberikan kontribusi dana/modal usaha (ra's al-mal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau secara proporsional, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak secara proporsional. Syirkah ini merupakan salah satu bentuk Syirkah amwal dan dikenal dengan nama syirkah inan.

Dalil Syirkah

Dalil kebolehan syirkah mengacu pada Al-Quran dan sunnah, diantaranya firman Allah SWT dalam Quran surat Shad (38) ayat 24 :   
Artinya: Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (Q.S. Shaad:24)

Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Hurairah r.a :  "Allah SW berfirmctn, 'Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka'."

Bentuk Syirkah

Secara umum, syirkah dibedakan menjadi dua yaitu: 1) syirkah amlak (kepemilikan), dan 2) syirkah uqud (akad). Berikut penjelasan terkait jenis-jenis syirkah sebagaimana diterangkan oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Al Sunnah tersebut:

a. Syirkah Amlak
Syirkah amlak adalah syirkah yang terjadi bukan karena akad, tetapi terjadi karena usaha tertentu (ikhtiari) atau terjadi secara alami/otomatis (ijbari). Oleh karena itu, syirkah amlak dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu:
1. Syirkah amlak ikhtiari contoh hal akad hibah, wasiat, dan pembelian. Maka, dalam syirkah amlak ikhtiari tidak terkandung akad wakalah dan akad wilayah (penguasaan) dari salah satu syarik kepada syarik lainnya,
2. Syirkah amlak ijbari yaitu syirkah antara dua syarik atau lebih yang terjadi karena peristiwa alami secara otomatis seperti kematian. Syirkah amlak ini disebut ijbari (paksa/mutlak) karena tidak ada upaya dari para syarik untuk mewujudkan peristiwa atau faktor yang menjadi sebab terjadinya kepemilikan bersama. Misalnya kematian seorang ayah merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya pembagian harta di antara ahli waris.

b. Syirkah Uqud
Syirkah Uqud adalah dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk menggabungkan harta guna melakukan kegiatan usaha/bisnis, dan hasilnya dibagi antara para pihak baik berupa laba maupun rugi. Dalam kitab Fiqih syirkah uqud diklasifikasikan menjadi empat macam: 1) syirkah amwal inan, 2) syirkah amwal mufawadhah, 3) syirkah abdan, dan 4) syirkah wujuh. 

Bahkan Ulama Hanafiah membagi syirkah uqud menjadi enam macam yaitu: 1) Syirkah amwal mufawadhah yaitu kemitraan modal usaha dari para syarik dengan jumlah modal yang sama, 2) Syirkah amwal inan yaitu kemitraan modal usaha dari para syarik dengan jumlah modal yang berbeda, 3) Syirkahab dan mufawadhah yaitu kemitraan keterampilan dari para syarik sebagai modal usaha dengan kualitas keterampilan yang sama, 4) Syirkah abdan inan yaitu kemitraan keterampilan dari para syarik sebagai modal usaha dengan kualitas keterampilan yang berbeda, 5) Syirkah wujuh mufawadhah kemitraan kredibilitas usaha atau nama baik/reputasi (good will) dari para syarik sebagai modal usaha dengan kualitas kredibilitas yang sama, dan 6) Syirkah wujuh inan kemitraan yaitu kredibilitas usaha atau nama baik/reputasi (good will) dari para syarik sebagai modal usaha dengan kualitas kredibilitas yang berbeda.

Jenis Syirkah

Berbagai kitab fikih klasik menyebut ada beberapa jenis dan model syirkah, diantaranya:

  1. Syirkah ‘Inan yaitu kesepakatan antara dua orang atau lebih, dimana masing-masing akan menyertakan sejumlah uang dan ikut andil dalam melakukan pekerjaan, dimana mereka akan membagi keuntungan dan kerugian sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Dalam jenis ini tidak disyaratkan kesamaan modal, pekerjaan, laba, ataupun kerugian . 
  2. Syirkah mufawadhah yaitu sebuah akad kesepakatan diantara dua orang atau lebih, dimana masing-masing akan menyertakan sejumlah uang dan ikut andil dalam melakukan pekerjaan, dimana mereka akan membagi keuntungan dan kerugian sama besar. Dalam hal ini disyaratkan adanya kesamaan dalam modal, pekerjaan, laba dan kerugian .
  3. Syirkah Wujuh yaitu kesepakatan antara dua orang atau lebih, dari para pelaku bisnis yang memiliki reputasi yang baik, kedudukan yang terhormat dan kemampuan untuk mengelola barang-barang dengan baik . Mereka sepakat untuk membeli barang-barang secara kredit dari beberapa firma atau perusahaan dengan modal reputasi dan pengalaman mereka, lalu menjualnya secara tunai. Pemilik barang akan memperoleh harga barangnya secara penuh tanpa ditambah atau dikurangi dan juga tanpa melihat keuntungan ataupun kerugian dari hasil penjualannya. Lalu mereka membagikan keuntungan atau kerugian diantara mereka sesuai dengan kesepakatan. Dengan demikian, jenis syirkah ini tidak membutuhkan modal, karena ia berdasarkan pada kepercayaan.
  4. Syirkah A’mal yaitu kesepakatan antara dua orang untuk menerima suatu pekerjaan, dan upah dari pekerjaan itu dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan .  Maka bisa saja dua orang sepakat melakukan satu pekerjaan yang sama ataupun berbeda, dimana mereka bersama-sama melakukan suatu pekerjaan yang tidak membutuhkan modal besar, lalu mereka membagi pemasukan yang mereka peroleh dari pekerjaan-pekerjaan tersebut sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat. Jenis syirkah ini terkadang juga disebut syirkah abdan, atau syirkah shana’i’.
  5. Syirkah Mudharabah. Para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan hukum fikih untuk syirkah mudharabah. Ada yang berpendapat bahwa ia termasuk syirkah seperti Hanabilah .  Ada pula yang tidak menggolongkannya sebagai syirkah, namun termasuk ijarah. Syirkah Mudharabah adalah akad kesepakatan antara dua orang, dimana orang pertama memberikan uang kepada orang kedua untuk digunakan berdagang, dan mendapatkan bagian yang besar dari keuntungannya. Orang kedua disebut mudharib atau orang yang melakukan pekerjaan. Orang kedua menggunakan dan mengelola uang itu sebagai seorang wakil. Mereka berdua membagi keuntungan yang dianugerahkan Allah kepada mereka sesuai dengan kesepakatan. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal, sementara orang kedua merugi dari sisi tenaganya. Bisa dikatakan bahwa mudharabah adalah syirkah dalam bentuk khusus, karena ia juga memenuhi rukun-rukun akad syirkah.


Berdasarkan telaah fikih, tidak terdapat larangan dalam mengembangkan model dan ragam syirkah seperti di atas. Hal ini memberi ruang munculnya model syirkah atau perusahaan baru yang berbeda dengan jenis-jenis syirkah yang telah disebutkan di atas, selama itu tidak bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip syariat Islam, dan akadnya memenuhi semua rukun dan syarat yang dibuat oleh para fuqaha. Artinya, syariat Islam membolehkan perusaahaan saham (syirkah musahimah/ joint stock company), perusahaan induk (syirkah qabidhah/ holding company) dan perusahaan konsorsium (syirkah tabi’ah) dan perusahaan dengan multi nationality dan lintas benua. Begitu juga dengan perusahaan rekanan (syirkah asykhash/ partnership company) dan perusahaan kemitraan (syirkah muhashah/ particular partnership company) selama usahanya dilakukan dalam bidang yang halal dan baik, dan konsisten dengan hukum dan prinsipprinsip syariat Islam di dalam semua muamalahnya 

Ketentuan Syirkah 

Fatwa DSN-MUI nomor 114 tahun 2017 mengatur beberapa ketentuan terkait syirkah sebagai berikut.
Pertama : Ketentuan sighat akad
  1. Akad syirkah harus dinyatakan secara tegas, jelas, mudah dipahami dan dimengerti, serta diterima oleh para mitra (syarik).
  2. Akad syirkah boleh dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat, dan perbuatan/tindakan, serta dapat diiakukan secara elektronik sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua : Ketentuan para pihak (syarik)
  1. Syarik (mitra) boleh berupa orang (syakhshiyah thabi'iyah) atau yang disamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum (syakhshiyah i'tibariah), berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  2. Syarik (mitra) wajib cakap hukum sesuai dengan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Syarik (mitra) wajib memiliki harta yang disertakan sebagai modal usaha (ra's al-mal) serta memiliki keahlian/keterampilan usaha.
Ketiga : Ketentuan modal (ra’sul mal)
  1. Modal usaha syirkah wajib diserahterimakan, baik secara tunai maupun bertahap, sesuai kesepakatan.
  2. Modal usaha syirkah boleh dalam bentuk harta (syirkah amwa), keahlian/keterampilan (syirkah'abdan), dan reputasi usaha/nama baik (syirkah wujuh).
  3. Modal usaha syirkah amwal pada dasamya wajib berupa uffig, namun boleh juga berupabarang atau kombinasi antara uang dan barang.
  4. Jika modal usaha dalam bentuk barang, harus dilakukan taqwim al-'urudh pada saat akad.
  5. Modal usaha yang diserahkan oleh setiap syarik wajib dijelaskan jumlah/nilai nominalnya.
  6. Jenis mata uang yang digunakan sebagai ra's al-mal wajib disepakati oleh para syarik.
  7. Jika para syarik menyertakan ra's al-mal berupa mata uang yang berbeda, wajib dikonversi ke dalam mata uang yang disepakati sebagai ra's al-mal pada saat akad.
  8. Ra's al-mal tidak boleh dalam bentuk piutang.

Keempat : Ketentuan nisbah bagi hasil 
  1. Sistem/metode pembagian keuntungan harus disepakati dan dinyatakan secara jelas dalam akad.
  2. Nisbah boleh disepakati dalam bentuk nisbah proporsional atau dalam bentuk nisbah kesepakatan.
  3. Nisbah sebagaimana angka 2 dinyatakan dalam bentuk angka persentase terhadap keuntungan dan tidak boleh dalam bentuk nominal atau angka persentase dari modal usaha.
  4. Nisbah kesepakatan sebagaimana angka 2 tidak boleh menggunakan angka persentase yang mengakibatkan keuntungan hanya dapat diterima oleh salah satu mitra atau mitra tertentu.
  5. Nisbah-kesepakatan boleh dinyatakan dalam bentuk multinisbah (berjenjang/tiering).
  6. Nisbah-kesepakatan boleh diubah sesuai kesepakatan.

Kelima : Ketentuan kegiatan usaha
  1. Usaha yang dilakukan syarik (mitra) harus usaha yang halal dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Syarik (mitra) dalam melakukan usaha syirkah harus atas nama entitas syirkah, tidak boleh atas nama diri sendiri.
  3. Para syarik (mitra) tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan, atau menghadiahkan ra's al-mal dan keuntungan kepada pihak lain kecuali atas dasar kesepakatan mitra-mitra.
  4. Syarik (mitra) dalam melakukan usaha syirkah, tidak boleh melakukan perbuatan yang termasuk at-ta'addi, at-taqshir, dan atau mukhalafat asy-syuruth.

Keenam : Ketentuan keuntungan (al-ribh), kerugian (al-khasarah), dan pembagianya.
  1. Keuntungan usaha syirkah harus dihitung dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan/atau sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
  2. Seluruh keuntungan usaha syirkah harus dibagikan berdasarkan nisbah-proporsional atau nisbah-kesepakatan, dan tidak boleh ada sejumlah tertentu dari keuntungan ditentukan di awal yang ditetapkan hanya untuk syarik tertentu.
  3. Salah satu syarik boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau persentase itu diberikan kepadanya.
  4. Keuntungan usaha (ar-ribh) boleh dibagikan sekaligus pada saat berakhirnya akad atau secara bertahap sesuai kesepakatan dalam akad.
  5. Kerugian usaha syirkah wajib ditanggung (menjadi beban) para syarik secara proporsinal sesuai dengan porsi modal usaha yang disertakannya.
  6. Dalam syirkah 'abdan dan syirkah wuiuh wajib dicantumkan komitmen para syarik untuk menanggung resiko/kerugian dalam porsi yang sama atau porsi yang berbeda dengan nisbah bagi hasil yang berbentuk nisbah-kesepakatan.

Karakteristik Perusahaan

Di dalam konsep dan sistem Islam, Shahatah menyatakan sebuah perusahaan dikatakan sesuai syariat apabila memenuhi unsur-unsur dibawah ini : 
  1. Tujuan utama dari pendirian perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan yang halal dan baik. Selain mewujudkan pertumbuhan dan pertambahan pada modal, perusahaan juga mempunyai tujuan bagi kemaslahatan kehidupan bumi, dapat membiayai kebutuhan pokok, dan membantu dalam beribadah kepada Allah. Ia juga bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan sosial bagi umat Islam.
  2. Terikat dengan nilai-nilai akhlak yang baik dan perilaku yang lurus dalam semua muamalah dan sikap. Karena di dalam itu terdapat bentuk ketaatan dan ibadah kepada Allah, juga salah satu sarana untuk memperoleh keuntungan, pertumbuhan dan pertambahan modal
  3. Aktivitas perusahaan hendaknya dilakukan dalam bidang yang halal dan baik, yang dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi para pemegang saham, mitra, pekerja, dan masyarakat. Karena sesungguhnya yang buruk itu tidak pernah sama dengan yang baik, meskipun yang buruk itu banyak.
  4. Pemilihan mitra, pemegang saham, investor, dan pekerja berdasarkan profesionalitas, akhlak, pengalaman, dan kepandaian. Juga tidak mengabaikan faktor keimanan dan spiritualias karena hal ini dapat memberi keberkahan tersendiri bagi sebuah perusahaan.
  5. Memberikan hak Allah di dalam harta, diantaranya: zakat, sedekah, dan hal-hal lain yang diwajibkan oleh syariat, demi terwujudnya pertumbuhan, keberkahan, dan kebersihan di dalam harta.
  6. Memberikan hak masyarakat di dalam keuntungan, seperti pajak, dan Corporate Social Responsibility (CSR). Selain itu tidak boleh memakan harta orang lain dengan batil, atau dengan merampas hak-hak masyarakat.
  7. Menulis dan mencatat semua akad, perjanjian, kesepakatan dan transaksi, demi menghindari adanya keraguan dan pertikaian


Konsep Saham 

Bukti kepemilikan seseorang pada sebuah perusahaan disebut dengan saham. Secara konsep, saham tidak bertentangan dengan prinsip syariah, karena saham merupakan surat berharga bukti penyertaan modal dari investor kepada perusahaan, yang kemudian investor akan mendapatkan bagi hasil berupa dividen. Konsep penyertaan modal dengan hak bagi hasil usaha ini merupakan konsep yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah atau kegiatan musyarakah/ syirkah.

Pendapat Ibnu Qudamah  :
“Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain.”

Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili : 
“Bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya boleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya.”
Pendapat para ulama yang menyatakan kebolehan jual beli saham pada perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang mubah, antara lain dikemukakan oleh Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaffar al-Syarif (al-Syarif, Buhuts Fiqhiyyah Mu’ashirah, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1999], h.78-79); Dr. Muhammad Yusuf Musa (Musa, al-Islam wa Musykilatuna al-Hadhirah, [t.t.: Silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1958], h. 58); Dr. Muhammad Rawas Qal’ahji, (Qal’ahji, al-Mu’amalat al-Maliyah alMu’ashirah fi Dhaw’i al-Fiqh wa al-Syari’ah, [Beirut: Dar alNafa’is, 1999], h.56). Syaikh Dr. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz alMatrak (Al-Matrak, al-Riba wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyyah, [Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1417 H], h. 369-375) menyatakan: 
“(Jenis kedua), adalah saham-saham yang terdapat dalam perseroan yang dibolehkan, seperti perusahaan dagang atau perusahaan manufaktur yang dibolehkan. Ber-musahamah (saling bersaham) dan ber-syarikah (berkongsi) dalam perusahaan tersebut serta menjualbelikan sahamnya, jika perusahaan itu dikenal serta tidak mengandung ketidakpastian dan ketidak-jelasan yang signifikan, hukumnya boleh. Hal itu disebabkan karena saham adalah bagian dari modal yang dapat memberikan keuntungan kepada pemiliknya sebagai hasil dari usaha perniagaan dan manufaktur. Hal itu hukumnya halal, tanpa diragukan.”

Kriteria Saham Syariah di Pasar Modal

Namun demikian, tidak semua saham dapat langsung dikategorikan sebagai saham syariah. Suatu saham dapat dikategorikan sebagai efek syariah di pasar modal di Indonesia, karena 2 (dua) hal:
Pertama, saham yang diterbitkan oleh perusahaan yang secara eksplisit mendeklarasikan sebagai perusahaan syariah, sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasarnya. Seperti Bank Syariah atau Asuransi Syariah. Ketentuannya diatur dalam POJKNo. 17/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Syariah Berupa Saham Oleh Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah.

Kedua, saham yang diterbitkan oleh perusahaan yang tidak menyatakan kegiatan usaha perusahaan sesuai syariah, namun perusahaan tersebut memenuhi kriteria syariah sehingga sahamnya dapat ditetapkan sebagai efek syariah oleh OJK/ Pihak Penerbit DES, sebagaimanan diatur oleh POJK 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. 
Kriteria yang harus dipenuhi perusahaan agar sahamnya dikategorikan sebagai efek syariah

Pertama, Kriteria kegiatan usaha  .
Perusahaan tidak boleh melakukan kegiatan usaha sebagai berikut:
  1. Perjudian dan permainan yang tergolong judi;
  2. Perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/ jasa;
  3. Perdagangan dengan penawaran/ permintaan palsu;
  4. Bank berbasis bunga;
  5. Perusahaan pembiayaan berbasis bunga;
  6. Jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/ atau judi (maisir), antara lain asuransi konvensional;
  7. Memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan dan/ atau menyediakan barang atau jasa haram zatnya (haram lidzatihi), barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN-MUI; dan/ atau, barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat;
  8. Melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah).

Kedua, Kriteria rasio keuangan  , yang terdiri atas:
  1. Rasio antara total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45% (empat puluh lima per seratus), dan
  2. Rasio antara total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10% (sepuluh per seratus)


Daftar Efek Syariah (DES)

Untuk memudahkan investor dalam memilih saham syariah, OJK merilis Daftar Efek Syariah (DES) secara berkala setiap bulan Mei dan November. DES berisi saham - saham perusahaan yang dikategorikan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 
Daftar efek syariah (DES) adalah kumpulan efek yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal, yang ditetapkan oleh OJK atau pihak yang mendapat persetujuan dari OJK sebagai Pihak Penerbit DES . DES merupakan panduan investasi bagi pihak pengguna DES, seperti manajer investasi pengelola reksa dana syariah, asuransi syariah, dan investor syariah lainnya. Selain itu, DES juga menjadi acuan bagi Bursa Efek Indonesia dan pihak lain yang Ingin menerbitkan indeks saham syariah.


Referensi :



Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon