Pedoman Penyelenggaraan BPJS Kesehatan Syariah

MUI melalui hasil Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia ke-5 Tahun 2015 di Tegal, Jawa Tengah pernah menyatakan bahwa penyelenggaraan BPJS Kesehatan saat ini belum sesuai dengan prinsip syariah pada beberapa ketentuannya. Diantaranya adalah BPJS Kesehatan masih mengandung unsur Riba, Gharar, dan Maisir sehingga diperlukan BPJS Kesehatan yang sesuai dengan prinsip syariah. MUI pada akhir tahun 2015 melalui DSN  mensahkan Fatwa Nomor 98/DSN-MUI/XII/2015 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Syariah. 

Berikut ini ketentuan Penyelenggaraan BPJS Kesehatan Syariah menurut Fatwa DSN-MUI Nomor 98 :
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
  1. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak;  
  2. Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan adalah cara penyelenggaraan perlindungan sosial di bidang kesehatan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak di bidang kesehatan;
  3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial;
  4. BPJS-Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang kesehatan;
  5. Peserta-Individu adalah setiap orang yang membayar iuran, baik membayar sendiri, dibayarkan sebagian atau seluruhnya oleh pemberi kerja, ataupun dibayarkan oleh Negara, guna mengikuti program jaminan sosial kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  6. Peserta-Kolektif adalah keseluruhan Peserta Individu yang terhimpun dalam kumpulan peserta jaminan sosial kesehatan;
  7. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan usaha, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya;
  8. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain;
  9. Dana Jaminan Sosial (DJS) adalah dana amanat milik  Peserta-Kolektif yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya dan/atau berasal dari sumber lainnya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran manfaat bagi peserta-Individu dan biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial Kesehatan;
  10. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh Peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah;
  11. Bantuan Iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Sosial;
  12. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya;
  13. Fasilitas Kesehatan (Faskes) adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan Pemerintah atau masyarakat;
  14. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan; 
  15. Prinsip syariah adalah ketentuan-ketentuan atau aturan yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI; 
  16. Akad hibah  adalah pemberian sejumlah dana dari Peserta-Individu kepada Peserta-Kolektif, dari Pemerintah kepada Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan/atau dari Pemerintah kepada BPJS Kesehatan sebagai wakil Perserta Kolektif untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif;
  17. Akad qardh adalah pinjaman dari BPJS Kesehatan kepada Peserta Kolektif untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Dana Jaminan Sosial Kesehatan atau pinjaman dari pemerintah kepada Peserta Kolektif untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Dana Jaminan Sosial Kesehatan apabila pemerintah belum memiliki anggaran khusus;
  18. Akad mu'awadhatadalah akad usaha antara BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta Kolektif dengan Pihak ketiga untuk mengembangkan Dana Jaminan Sosial Kesehatan;
  19. Akad Ijarah adalah akad antara BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta Kolektif dengan Faskes untuk melakukan pelayanan kesehatan; 
  20. Akad Wakalah atau Wakalah bi al-Ujrah adalah akad antara Peserta-Kolektif dengan BPJS Kesehatan untuk kegiatan administrasi dan kegiatan lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah; 
  21. Akad Kafalah adalah akad antara BPJS Kesehatan dengan Peserta Kolektif untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif; 
  22. Zhulm adalah sesuatu yang mengandung unsur ketidakadilan, ketidakseimbangan, dan merugikan pihak lain; dan
  23. Lalai adalah meninggalkan perbuatan yang harusnya dilakukan (ifrath/ta'addi), atau melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan (tafrith/taqshir).
Kedua :
Ketentuan Hukum
Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan boleh dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan Akad dan Personalia Hukum
  1. Akad antara Peserta-Individu dengan Peserta-Kolektif  yang diwakili BPJS Kesehatan adalah akad hibah dalam rangka saling menolong sesama peserta (ta'awun);
  2. Akad antara Pemerintah dengan Peserta-Individu sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah akad hibah, yang diserahterimakan kepada BPJS Kesehatan sebagai wakil dari Peserta-Kolektif;
  3. Akad antara Peserta-Kolektif dengan BPJS Kesehatan  adalah akad wakalah atau akad wakalah bil ujrah;
  4. Akad wakalah atau wakalah bil ujrah sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat mencakup pemberian kuasa untuk:
    1. Kegiatan administrasi;
    2. Pengelolaan portofolio risiko;
    3. Investasi/Pengembangan  DJS;
    4. Pembayaran klaim (dari BPJS ke Faskes); dan
    5. Pemasaran (Promosi)/sosialisasi;
  5. Akad antara BPJS Kesehatan dengan pihak lain dalam rangka pengembangan Dana Jaminan Sosial Kesehatan adalah akad mu'awadhat, baik dalam bentuk jual-beli, ijarah, maupun akad yang berbasis bagi hasil;
  6. Akad antara Pemerintah dengan BPJS Kesehatan sebagai wakil Perserta Kolektif adalah akad hibah untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif; atau akad qard apabila pemerintah belum memiliki anggaran khusus;
  7. Akad antara BPJS Kesehatan dengan Peserta-Kolektif adalah akad kafalah atau akad qardh untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif;
  8. Akad antara BPJS Kesehatan dengan Peserta-Kolektif adalah akad kafalah atau akad qardh untuk menanggulangi kesulitan likuiditas asset Dana Jaminan Sosial Kesehatan;
  9. Akad antara Pemerintah dengan BPJS Kesehatan sebagai wakil peserta-kolektif adalah akad kafalah atau qardh dalam hal BPJS Kesehatan tidak dapat memberikan talangan, atau dapat memberikan talangan namun tidak mencukupi untuk menanggulangi kesulitan likuiditas aset Dana Jaminan Kesehatan;
  10. Akad antara BPJS Kesehatan dengan Faskes adalah akad ijarah.
Keempat : Ketentuan terkait Iuran dan Layanan
  1. BPJS Kesehatan harus memberikan kemudahan bagi semua peserta BPJS di seluruh wilayah Indonesia untuk mendapatkan pelayanan yang baik sesuai dengan hak mereka;
  2. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib memberikan informasi yang jelas kepada Peserta Individu terkait jumlah iuran dan manfaat atau cakupan layanan fasilitas kesehatan yang ditanggung (jenis layanan, tingkat layanan, tenaga medis, penunjang diagnostik, obat, bentuk-bentuk terapi, dan biaya-biaya layanan kesehatan lainnya);
  3. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib bertanggungjawab untuk mengupayakan agar besaran pembayaran imbalan dan membayarnya kepada fasilitas layanan kesehatan (Faskes) melalui sistem yang adil dan transparan;
  4. BPJS Kesehatan wajib menunaikan kewajibannya dengan baik kepada Faskes sesuai perjanjian;
  5. Faskes wajib memberikan layanan kesehatan kepada Peserta-Individu sesuai prinsip-prinsip syariah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku; wajib menolong pasien dan dilarang menolak dan/atau mengabaikannya;
  6. Faskes/Rumah Sakit wajib memberikan imbal jasa yang berasal dari BPJS Kesehatan kepada para dokter dan paramedik serta semua unsur di dalam Faskes sesuai dengan prinsip keadilan dan prinsip-prinsip syariah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kelima : Ketentuan terkait Dana Jaminan Sosial Bernilai Negatif
  1. Pemerintah wajib menghibahkan dana untuk menutupi negatif DJS;
  2. Dalam hal Pemerintah belum memiliki alokasi anggaran untuk menanggulangi DJS bernilai negatif, pemerintah dapat menalanginya dengan akad qardh; dan
  3. Dalam hal pemerintah belum menghibahkan dana untuk mencukupi DJS yang bernilai negatif, maka BPJS Kesehatan wajib memberikan dana talangan kepada DJS dengan menggunakan akad qardh atau kafalah.
Keenam : Ketentuan terkait Kesulitan Likuiditas Aset Dana Jaminan Sosial
  1. BPJS Kesehatan dapat memberikan talangan berdasarkan akad kafalah atau  qardh kepada aset DJS untuk menanggulangi kesulitan likuiditas;
  2. Dalam hal BPJS Kesehatan tidak dapat memberikan talangan, atau dapat memberikan talangan namun tidak mencukupi untuk menanggulangi kesulitan likuiditas aset Dana Jaminan Kesehatan, pemerintah dapat memberikan talangan berdasarkan akad kafalah atau qardh;
Ketujuh : Ketentuan terkait Penempatan dan Pengembangan DJS
  1. BPJS Kesehatan wajib memiliki rekening penampungan DJS pada bank syariah;
  2. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib melakukan pengelolaan portofolio DJS sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
  3. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif tidak boleh mengembangkan DJS pada kegiatan usaha dan/atau transaksi keuangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah; dan 
  4. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif dalam upaya mengembangkan DJS harus menggunakan akad-akad yang sesuai prinsip-prinsip syariah.
Kedelapan : Ketentuan terkait Sanksi
  1. BPJS Kesehatan boleh mengenakan sanksi (ta'zir) kepada Pemberi Kerja  atau Peserta-Individu dengan ketentuan berikut:
    1. Apabila Pemberi Kerja atau Peserta-Individu terlambat membayar iuran karena lalai,  maka boleh dikenakan sanksi (ta'zir);
    2. Apabila pemberi Kerja atau Peserta-Individu terlambat membayar iuran karena sebab yang benar menurut syariah dan hukum (misal karena kendala teknis operasional, kesulitan keuangan yang sangat atau karena ketidaktahuan), maka BPJS Kesehatan tidak boleh mengenakan sanksi;
    3. Tingkatan berat atau ringannya sanksi (ta'zir) dapat diberlakukan sepadan dengan jenis dan tingkatan pelanggarannya; dan
    4. Dana sanksi (ta'zir) wajib diakumulasikan ke dalam Dana Jaminan Sosial;
  2. BPJS Kesehatan boleh dikenakan sanksi (ta'zir) karena terlambat dalam pembayaran  imbalan kepada Faskes sesuai nilai syariah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  3. Dana sanksi (ta'zir) sebagaimana pada angka 2 di atas wajib dipergunakan untuk Dana Sosial;
Kesembilan : Penyelesaian Perselisihan Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.