Repo Syariah

Oleh : Hendro Wibowo

Pendahuluan
Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter yang bertugas dalam rangka mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah dengan menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Salah satu instrument kebijakan moneter adalah operasi pasar terbuka berlaku bagi bank syariah dan bank konvensional. Adapun jenis-jenis instrument pasar uang yang ditawarkan dalam pasar uang dengan sistem syariah di Indonesia antara lain :
1.  Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
    Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah diterbitkan oleh Bank Indonesia. Fitur SBIS yaitu ditujukan sebagai salah satu instrument operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah berdasarkan akad ju’alah. Fatwa DSN No.64/DSN-MUI/I/2008.
    2.  Repurchase Agreement (Repo) SBIS
      Repurchase Agreement (Repo) SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada BUS atau UUS dengan agunan SBIS (Collateral Borrowing). Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
      Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas sebagian penyertaan terhadap asset SBSN dalam mata uang rupiah. Mekanisme penatausahaan SBSN terdiri dari tiga kegiatan, 1. Settlement SBSN dipasar perdana, 2. Pembayaran imbalan atau nilai nominal SBSN, 3. Settlement SBSN di Pasar Sekunder
      3.  Repurchase Agreement (Repo) SBSN
        Repurchase Agreement (Repo) SBSN adalah transaksi penjualan SBSN oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dalam rangka standing facilities syariah

        a. Instrumen pasar Uang antar Bank (PUAS)
          Instrumen pasar Uang antar Bank (PUAS) adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antar bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, instrument PUAS adalah instrument keuangan berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS.
          b. Surat Berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.
          Yang dimaksud surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penelian lembaga pemeringkat yang diakui BI sebagaimana diatur dalam ketentuan BI mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui BI, dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual kepasar untuk dijadikan uang tunai.

            Mekanisme Repo Syariah
            Berdasarkan definisi yang sudah dijelaskan diatas, penulisan paper ini lebih difokuskan pada Repo Syariah salah satunya adalah Repo SBIS. Dimana Karakteristik Repo SBIS yaitu : 1. Dimana BUS dan UUS dapat Merepokan SBIS miliknya diajukan kepada Bank Indonesia dengan terlebih dahulu menandatangani perjanjian penggunaan SBIS dalam rangka REPO SBIS. Terhadap REPO SBIS, Bank Indonesia akan mengenakan biaya kepada BUS dan UUS 2. Setelah BI mengumumkan Biaya Repo dan Berjangka waktu REPO SBIS 1 (satu) hari kerja yang berlaku melalui BI-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) dan atau sistem LHBU paling lambat sebelum window time REPO SBIS dibuka serta harus sesuai dengan waktu yang ditetapkan, 3. BUS atau UUS yang sebelumnya telah menandatangi perjanjian pengagunan SBIS dalam rangka REPO dan tidak dalam masa pengenaan sanksi larangan mengajukan REPO SBIS, mengajukan REPO SBIS Secara langsung melalui BI-SSSS selama window time (pukul 16.00 – 17.00 pada setiap hari kerja) dengan mencantumkan nilai nominal REPO SBIS dan seri SBIS yang diagunkan (minimal memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada saat REPO SBIS jatuh tempo), 3. Dalam REPO SBIS akad yang digunakan adalah akad Qardh yang diikuti Rahn, dengan biaya REPO SBIS berdasarkan perhitungan sebagai berikut :
            Biaya REPO SBIS = (BI Rate + 300bps) x (t/360) x (Nilai Nominal REPO SBIS),
            dimana t = jumlah hari kalender REPO SBIS

            Dengan rincian contoh penghitungan repo sebagai berikut:
            tanggal SBIS terbit : 5 Maret 2014
            Jangka waktu SBIS : 1 bulan (28 hari)
            Tanggal jatuh waktu : 2 April 2014
            Tingkat diskonto SBI 1 bulan : 8 %
            Nilai nominal SBIS : Rp.1.000.000.000,-
            Tanggal pengajuan Repo SBIS : 26 Maret 2008
            Tanggal Repo SBIS jatuh waktu : 27 Maret 2008
            Nilai nominal yang direpokan : Rp.1.000.000.000,-
            Biaya Repo SBIS : BI rate + 300 bps = 8% + 3% = 11%

            Besarnya biaya Repo SBIS yang harus dibayar kepada BI adalah:
            Rp.1.000.000.000,- x (1/360) x 11 %}= Rp.305.555,55
            Sehingga besarnya jumlah yang harus dibayar BUS “A” pada BI pada saat  jatuh waktu yaitu tanggal 27 Maret 2014 adalah sebesar nilai nominal + biaya repo SBIS = Rp.1.000.305.555,55

            Sedangkan dilihat dari transaksinya, terdapat 2 metode yang biasa digunakan, yaitu :
            • Classic Repo, atau semacam Collateralized Borrowing, dimana dalam Repo tersebut kepemilikan Efek akan tetap berada pada pihak Seller/penjual. Efek tersebut tidak dapat ditransfer atau dijual kembali sebelum tanggal transaksi Repo tersebut jatuh tempo.
            • Sell/Buy Back Repo, transaksi yang melibatkan suatu transfer efek dan dana dimana kepemilikan efek tersebut juga berpindah ke pihak Buyer/pembeli.
            Analisis Repo Syariah
            Kebanyakan instrumen yang biasa digunakan oleh industri perbankan syariah adalah REPO. Dimana hal ini sudah biasa digunakan dalam industri perbankan konvensional. REPO (repurchase agreement) adalah instrument yang biasa dipakai di bank konvensional baik ketika kekurangan likuiditas maupun kelebihan. Beberapa pandangan terkait transaksi Repo Syariah :
            Pertama, penulis melihat bahwa transaksi Repo khusus Repo Syariah bisa memberikan manfaat kedua belah pihak baik bank syariah maupu Bank Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sisi pembeli (buyer) yakni Bank Indonesia karena berdasarkan PBI SBIS dimana SBIS yang dimiliki Bank Syariah dapat REPOkan kepada Bank Indonesia, dimana Bank Indonesia akan memperoleh return untuk jangka waktu pendek (short term) dengan tingkat bunga menarik dan relative aman karena pihak pembeli akan memegang jaminan berupa asset atau efek milik penjual. Efek tersebut juga bisa digunakan untuk menghindari terjadinya short positions. Sedangkan dari sisi penjual yakni Bank Syariah, dengan transaksi Repo Syariah dapat merupakan alternatif sumber pendanaan yang relatif murah (cheap funding cost) dan aman karena yang membeli adalah Bank Indonesia, dengan cara menyerahkan atau menjaminkan asetnya yang berupa efek tersebut.
            Kedua, REPO Syariah saat ini sangat diperlukan dikarenakan bank syariah butuh injeksi likuiditas, karena asset-aset bank syariah yang sifatnya fix payment (murabahah dan ijarah) bisa dikumpulkan sebagiannya (pool of asset) dan Financing to Deposit Ratio (FDR) Bank Syariah yang cenderung tinggi mencapai 95% lebih. Bisa jadi muncul Risiko dengan meREPOkan SBIS adalah ketidakmampuan bank syariah untuk membeli kembali, cenderung asset yang fix payment dalam jangka waktu menengah dan panjang, sehingga harus memenuhi kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia dalam rangka Repo SBIS karena BUS atau UUS tidak menepati jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS. Berdasarkan PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang SBIS salah satu point adalah sanksi Terhadap setiap transaksi SBIS yang dinyatakan batal dikenakan sanksi berupa : teguran tertulis; dan kewajiban membayar sebesar 1% (satu per seribu) dari nilai Transaksi SBIS yang dinyatakan batal atau paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sebagai contoh : jika nilai SBIS sebesar Rp 1.000.000.000, maka perhitungannya Rp1.000.000.000 x (1/1000) = Rp 1.000.000. Selain dikenakan sanksi tersebut di atas, BUS atau UUS juga dikenakan sanksi : pemberhentian sementara mengikuti lelang SBIS minggu berikutnya; dan larangan mengajukan Repo SBIS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut, terhitung sejak BUS atau UUS dikenakan teguran tertulis ketiga dalam kurun waktu 6 (enam) bulan.
            Ketiga, Sertifikat ini dijual dalam bentuk diskon (contoh nominal value-nya adalah 1000, bisa dijual dengan 910, 950 dan lain-lain tergantung jangka waktu yang ditawarkan) dan 1 atau 3 bulan kemudian, tergantung pada kebutuhan bank, maka sertifikat ini akan dijual kembali dengan nominal value-nya. Bisa jadi Hal ini dilarang dalam syariah yang didalamnya ada unsur riba karena penghitungannya berdasarkan time value of money.
            Keempat, dalam transaksi yang terjadi dimana REPO juga berfungsi seperti secured loan, dimana pihak pembeli akan memperoleh instrumen efek sebagai ‘jaminan’ atas jumlah dana yang diserahkan kepada pihak penjual. Pada saat yang disepakati, bila sejumlah dana dibayarkan kembali dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka instrumen efek tersebut juga dikembalikan dari pihak pembeli kepada penjual.  Walaupun dari mekanismenya mirip seperti pinjaman, Namun dari sudut pandang hukum, dalam transaksi REPO ini terjadi perpindahan kepemilikan atas efek yang ditransaksikan. Artinya terlihat bahwa transaksi REPO tersebut disertai dengan syarat bahwa penjual akan membeli kembali SBI Syariah yang telah dijual tersebut. Analisisnya adalah dalam riil transaksi mirip jual beli, tapi berdasarkan fatwa dan PBI SBIS bahwa REPO Syariah berdasarkan akad Qardh dengan disertai rahn.

            Daftar Pustaka
            Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/17/DPM tentang tata Cara Transaksi Repo
            Fatwa DSN MUI No.64/DSN-MUI/I/2008
            Peraturan Bank Indonesia No.10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah
            Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan


            Sumber: www.sebi.ac.id

            Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
            EmoticonEmoticon