Instrumen Derivatif yang Produktif, Mungkinkah?

Dr. Setiawan Budi Utomo
 
Dalam kesempatan diskusi internasional mengenai Islamic Hedging & Liquidity Management Instruments dalam acara 3rd Annual World Islamic Banking Conference: Asia Summit 2012 di Singapura (4/6/2012), telah mengemuka dari kalangan ahli keuangan dan pakar hukum bisnis dunia peserta diskusi gagasan perlunya instrumen derivatif yang produktif dan non-spekulatif untuk lindung nilai syariah (Tahawwut).
Transaksi derivatif dalam perspektif umum dikenal sebagai transaksi keuangan yang berpotensi spekulatif dan menciptakan bubble economy di mana penggelembungannya tidak berkorelasi dengan pertumbuhan produktif sektor riil. Produk derivatif dipahami umum sebagai kontrak bilateral penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan dari produk yang menjadi "acuan pokok" atau "produk turunan" (underlying product).
Para ahli meyakini transaksi derivatif diyakini sebagai penyebab utama krisis ekonomi dunia. Seperti Crash pasar saham Wall Street tahun 2001 yang dikenal sebagai Black Monday dan krisis keuangan 1987 serta krisis moneter Asia 1997/1998. Transaksi derivatif penyebab kolapsnya hedge fund & long term capital management raksasa, kolapsnya Enron, krisis ekonomi Argentina dan krisis keuangan global saat ini. Medio 2007 kepanikan industri keuangan meningkatkan ketidakpercayaan publik pada sekuritas akibat ulah derivatif yang mendorong bank sentral AS dan Eropa 9/8/2007 menyuntikan dana miliaran USD. Citigroup 15/1/2008 merugi 18 juta USD dan Credit Suisse 20/2/2008 mengumumkan kerugian 2,85 miliar USD dari produk kredit terstuktur (structured product). Derivatif menjungkalkan Bear Strearns pemain besar pasar credit default swap rekanan perusahaan di Wall Street. Derivatif kredit perumahan AS (Subprime Mortgage) mendorong Freddie & Fannie dinasionalisasi pada 2008, serta merobohkan raksasa asuransi AIG dan Bank Investasi Lehman Brothers.
Pemberitaan media 11/5/2012 mengangkat kasus JPMorgan Chase & Co, bank terbesar di Amerika yang mengumumkan kerugian USD 2 miliar (sekitar Rp18,4 triliun) akibat keliru menerapkan strategi derivativ surat utang yang sangat rumit dan telah dilaporkan kepada Pengawas Pasar Modal AS (SEC). Kasus di Indonesia yang relatif baru adalah sengketa antara salah satu bank umum milik perusahaan investasi dari Singapore dengan perusahaan industri pulp & paper akibat kontrak transaksi derivatif terstruktur (structured product) yang marak diberitakan media nasional pada 2009. Derivatif spekulatif tak ubahnya zero sum game yang tidak menciptakan nilai tambah. Keuntungan merupakan kerugian pihak lain. George Soros menyebutnya hydrogen bombs dan Warren Buffett menjulukinya financial weapons of mass destruction.  Transaksi derivatif merupakan bom waktu yang bisa meledak dan melumatkan sistem keuangan global kapanpun akibat penyahgunaan derivatif yang awalnya untuk hedging exchange risk justeru dijadikan alat spekulasi untuk mengeruk keuntungan.
Terinspirasi kontra trend derivatif yang spekulatif, pada diskusi internasional ini penulis mengusulkan dan mendorong diratifikasinya oleh International Islamic Financial Market (IIFM) lima pilar terciptanya instrumen derivatif yang produktif; (1) Transaksi yang boleh dimasukkan dalam Tahawwut Master Agreement (TMA) hanya yang bertujuan lindung nilai nilai tukar yang aktual, (2) Transaksi bertujuan spekulasi tidak boleh dimasukkan dalam TMA, (3) Transaksi dilakukan secara sesungguhnya dengan adanya transfer of ownership of real assets, actual risk dan real settlement, (4) Underlying assets yang mendasari instrumen hedging harus halal, riil dan tidak fiktif, (5) Tidak boleh adanya pembebanan bunga atas transaksi hedging, baik berupa premi maupun denda atas default atau keterlambatan pembayaran dan pengiriman underlying transaksi.
Penerapan islamic hedging di berbagai negara menghadapi kendala hukum yang beragam terutama aspek enforceability, governing laws, insolvensi dan pilihan forum penyelesaian sengketa. Kajian global law maps berdasarkan  perbandingan hukum di negara-negara utama Timur Tengah, Afrika Utara maupun Indonesia dan Malaysia, menunjukkan posisi prospektif yang paling memungkinkan bagi Indonesia untuk pelaksanaan islamic hedging dilihat dari aspek-aspek tersebut. (Lihat, Decree Law UAE No.57/2009, Qatar Financial Services Regulations, Article 106, 107 dan 275 Penal Code, Art.36 Bankcruptcy Act Bahrain, Art.108-109 of CBB & FI Law (Decree No.64/2006) Art 96 and 136 Law of Commerce Bahrain (Decree 7/1987), SAMA Regulations, Central Bank of Kuwait Regulations, Draft of Netting of Financial Contract Act 2009 Pakistan, Laws Of Malaysia Act 136 Contracts Act 1950 with Amendments 1/1/2006)
Instrumen derivatif yang produktif memerlukan kepastian hukum. Menurut The International Swaps and Derivatives Association (ISDA) yang dimaksud kepastian hukum ini mencakup: (a) keberlakuan kontrak derivatif; (b) kejelasan hukum kepailitan dan terlaksananya ketentuan netting; dan (c) kejelasan mengenai perlakuan terhadap collateral. Contohnya di UAE terdapat ketidakpastian pilihan hukum asing yang mengatur kontrak serta delum diatur ketentuan netting maupun kepailitan. Kuwait misalnya, negara ini belum mengatur karakterisasi ulang risiko dan reasuransi namun dimungkinkan transfer ulang kepemilikan. Adanya yurisdiksi ekskusif yang menetapkan tidak efektifnya segera transaksi jika salah satu counterparty warga Kuwait, peradilan asing tidak dapat diterapkan dan belum diaturnya netting. Kondisi hukum serupa dijumpai di Saudi Arabia.
Posisi Indonesia diuntungkan dengan adanya ketentuan transaksi derivatif yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/31/PBI/2005 dan PBI No.10/38/PBI/2008 yang disempurnakan dengan PBI No.11/14/PBI/2009. Bank diperbolehkan untuk melakukan transaksi derivatif non-spekulasi untuk kepentingan sendiri atau nasabah. Bank wajib melakukan mark to market dan menerapkan manajemen risiko sesuai ketentuan yang berlaku. Derivatif diperkenankan sepanjang bukan structured product (produk yang menggabungkan dua atau lebih instrumen keuangan) yang terkait dengan transaksi valas terhadap Rupiah. Bank dilarang memelihara posisi atas transaksi derivatif yang dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank serta dilarang memberikan fasilitas kredit dan atau cerukan (overdraft) untuk keperluan transaksi derivatif  kepada nasabah termasuk pemenuhan margin deposit dalam rangka transaksi margin trading. Bank juga dilarang melakukan margin trading valas terhadap rupiah untuk kepentingan sendiri maupun nasabah.
Penerapan produk Islamic Hedging pada bank syariah di Indonesia harus terhindar dari unsur haram seperti riba (bunga), gharar (assimetric information) dan maysir (spekulasi), sehingga harus didukung oleh fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Fatwa  mengatur persyaratan dan ketentuan syariah (dhawabith) bagi produk hedging agar menjadi produk derivatif yang produktif dan tidak spekulatif. Produk islamic hedging yang skema underlying-nya adalah commodity murabahah melalui bursa komoditi syariah dapat mendorong produksi dan memberikan nilai tambah kepada kegiatan ekonomi riil dalam kerangka lindung nilai tukar valas yang dialami bank maupun yang dihadapi nasabahnya, dalam kegiatan perdagangan dengan menggunakan valas. Hal ini perlu kepastian hukum bagi transaksi komoditi di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) dalam valuta asing sebagai Lex Specialis Derogat Legi Generali  dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Rumusan mengenai fatwa yang akan ditidaklanjuti secara sinergis dan harmonis dalam regulasi perbankan dan standar akuntansi terkait lindung nilai syariah perlu segera diformulasikan dalam Working Group Perbankan Syariah antara DSN-MUI, Bank Indonesia, dan Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia.
Berbagai instrumen derivatif dalam rangka hedging yang dikembangkan oleh IIFM sebagai skema yang di-breakdown dari induk standar IIFM mengenai TMA seperti penggunaan skema Inter-Bank Unrestricted (On Balance Sheet) Wakalah, Cross Currency Swap, dan Mubadalatul Arbaah (Profit Rate Swap), tidak dapat sertamerta diimplementasikan di Indonesia. Hal itu masih memerlukan adaptasi yang disesuaikan dengan mazhab pemikiran fikih muamalah Indonesia sebagaimana yang mengkristal di DSN-MUI, juga berkaitan dengan kondisi sosio-kultural keagamaan di Indonesia dalam penggunaan peristilahan produk konvensional. Singkatnya, masih diperlukan konfirmasi fikih Indonesia mengenai prinsip dasar syariah yang pokok digunakannya seperti Murabahah Komoditas dengan skema Tawarruq Mundhabith maupun Wa’ad. Selain itu juga masih diperlukan kepastian hukum mengenai pricing, premi, dan perhitungan yang dipergunakan dalam hedging serta pertimbangan ulang penggunaan peristilahan konvensional untuk menjaga reputasi perbankan syariah. Sebelum itu semua, konsep maslahah ekonomi yang menjadi dasar pengembangan Islamic hedging baik secara mikro maupun makro harus menjadi pertimbangan dasar dan framework pengembangan produk lindung nilai syariah.  Wallahu A’lam.
Penulis adalah Doktor Comparative Business Law dari Universitas Padjadjaran. Pengamat Hukum Perbankan dan Keuangan Pengajar Program Pascasarjana di Berbagai Perguruan Tinggi

Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon