SPN Syariah: Sukuk Sebagai Intsrumen Moneter

 Khairunnisa Musari


Sukuk tidak saja berpotensi menjadi instrumen pembiayaan pembangunan. Sukuk juga berpotensi menjadi instrumen pengelola mismatch liquidity atau pengelola excess and lack of liquidity. Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPN-S) yang baru saja terbit Agustus lalu adalah wajah lain dari sukuk yang kini merambah wilayah moneter.
Sejak penerbitan perdana tahun 2008, fungsi Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara memang masih belum beranjak jauh dari keberadaannya sebagai instrumen fiskal. Dalam peta kebijakan fiskal di Indonesia, penerbitan sukuk termasuk dalam sumber pembiayaan dan pengelolaan portofolio utang negara.
Mulai Agustus lalu, pemerintah menerbitkan sukuk negara jenis baru guna merespon permintaan bank sentral untuk menyediakan instrumen yang mendukung pengelolaan likuiditas bank syariah. SPN-S seri 03022012 yang diterbitkan 4 Agustus dan jatuh tempo pada 3 Februari 2012 berhasil menghimpun dana sebesar Rp 570 miliar. Kemudian, SPN-S seri 24022012 yang diterbitkan 25 Agustus dan jatuh tempo 24 Februari 2012 berhasil menghimpun dana Rp 330 miliar. Berikutnya, pada 13 Oktober, pemerintah kembali menerbitkan SPN-S dengan seri 12042012 sebesar Rp 420 miliar.
Tidak bisa dipungkiri, kebutuhan pasar untuk tersedianya instrumen moneter berbasis sukuk yang memiliki tenor di bawah satu tahun serta tradable menjadikan SPN-S ini memiliki nilai strategis dibanding Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) yang ada sebelumnya. Selain membutuhkan biaya yang lebih mahal, SBIS juga selama ini hanya bisa direpokan kepada bank sentral.
Meski nilai SPN-S masih relatif kecil sehingga bagi sejumlah pihak dipandang belum efektif menjadi instrumen moneter, namun kehadiran SPN-S boleh dikata merupakan tonggak di mana sukuk negara mulai merambah wilayah moneter di Indonesia. Secara filosofis, sukuk memang memiliki dual function. Sukuk tidak saja berfungsi sebagai instrumen fiskal, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen moneter yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola likuiditas.
Mengelola Likuiditas
Meski bank syariah kerap dinyatakan tahan terhadap badai krisis, namun realitas menunjukkan bahwa bank syariah juga mengalami tekanan likuiditas. Ketika financing to deposit ratio (FDR) bank syariah berada pada kondisi yang cukup tinggi, maka saat itulah eksposure resiko likuiditas bank syariah meningkat. Pemicu utamanya adalah maturity mismatch yang membutuhkan manajemen excess and lack of liquidity yang berhati-hati untuk mengelola lag antara jangka waktu penghimpunan dana dan penyaluran.
Sebelumnya, BI sudah merintis Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) sebagai instrumen likuiditas untuk bank syariah. Namun, sejak Maret 2008, instrumen ini sudah tidak lagi diterbitkan karena SWBI tidak memenuhi kriteria operasi pasar terbuka. BI kemudian menggantinya dengan SBIS.  Kini, SBIS sudah diwacanakan untuk dialihkan menjadi SPN-S karena keterbatasannya sebagai pengelola likuiditas. SBIS atau SWBI secara esensi adalah bukan instrumen moneter syariah. Instrumen moneter syariah sejatinya investment based on sukuk atau mudarabah/musyarakah certificate.
Hadirnya SPN-S adalah alternatif baru bagi bank syariah untuk mengelola likuiditas, utamanya sebagai instrumen jangka pendek selain pula sebagai sarana investasi. Esensi dari penerbitan SPN-S dalam kebijakan moneter adalah keberadaannya yang meninggalkan money creation dan berbasis underlying asset.  
Pesatnya pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia memang mendorong BI sebagai otoritas moneter untuk menyediakan ragam instrumen likuiditas guna membantu mengelola mismatch liquidity bank syariah. Di sejumlah negara yang telah mengadopsi sukuk, bank sentral setempat diperkenankan untuk menerbitkan sukuk. Di Indonesia, payung regulasi tidak memperkenankan BI untuk melakukannya. Atas dasar itulah, BI harus bekerjasama dengan pemerintah cq Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menerbitkan sukuk sebagai instrumen yang mendukung pengelolaan likuiditas bank syariah guna memitigasi resiko likuiditas di pasar keuangan.
Harmonisasi Fungsi Fiskal dan Moneter
Meski SPN-S secara kasat mata tampak tidak jauh berbeda dengan SPN konvensional, namun secara filosofis SPN-S mengandung nilai dan cara kerja yang sangat berbeda. Dengan karakter yang dimilikinya, SPN-S juga berbeda mekanisme pemanfaatannya dengan SBIS maupun Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS) yang selama ini mendominasi instrumen operasi moneter syariah.
Dengan dual function yang melekat pada sukuk, instrumen ini dapat bekerja bahu membahu antara kebijakan fiskal dan moneter untuk mengatur lalu lintas perekonomian. Dari sisi fiskal, dana yang terhimpun dari penerbitan sukuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Dari sisi moneter, sukuk dapat menjadi instrumen pengelola likuiditas sekaligus sarana investasi.
Lebih jauh, sukuk dikatakan likuid karena aset yang dijadikan underlying transaction dapat diperdagangkan sehingga aset tersebut jelas berpotensi menghasilkan return dan sekaligus sebagai jaminan apabila terjadi persoalan antara issuer dan investor. Selain itu, sukuk mengakumulasi modal publik dengan risiko yang minimal karena konsep syariah melarang transaksi perdagangan uang, derivatif, maupun return yang diperoleh tanpa adanya kewajiban yang ditunaikan.
Pada tataran inilah, sukuk sebagai instrumen moneter dapat menjadi solusi untuk mengurangi tekanan excess and lack of liquidity, selain juga menjadi alat penjaga kestabilan inflasi karena sukuk bekerja dengan memanfaatkan dana-dana rupiah yang idle tanpa harus menambah uang beredar. Inilah sebenarnya inti dari sukuk yang diadopsi SPN-S untuk mengelola likuiditas dengan meningkatkan perputaran uang (money velocity). Wallahua’lam bish showab.
 Penulis adalah Kandidat Doktor Ekonomi Sariah, Universitas Airlangga, Surabaya.
 

Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon