Pendekatan Trial & Error dalam Model Asuransi Syariah

Oleh: M. Mahbubi Ali

Konsep asuransi syariah hadir sebagai alternatif dari asuransi konvensional yang diharamkan dalam Islam karena mengandung elemen riba, gharar (spekulasi) dan maysir (judi). Berbeda dengan asuransi konvensional yang dibangun di atas kontrak berbasis komersial (mu\'awadhat), kerangka konseptual asuransi syariah dibangun di atas prinsip saling menolong (ta\'awun), saling menjamin (tadhamun) dan saling menanggung (takaful).
Pada tataran teknis, para ulama menggunakan pendekatan akad-akad dalam Islam yang sesuai dengan karakter asuransi syariah. Lahirlah kemudian beberapa akad seperti tabarru\', mudharabah, dan wakalah, sebagai pijakan terbangunnya asuransi syariah. Akad tabarru\' digunakan untuk menunjukkan hubungan antara sesama peserta, sementara akad mudharabah dan wakalah dipakai untuk memperlihatkan hubungan antara peserta dan operator asuransi syariah. Sebagai wakil, operator mendapatkan kompensasi berupa fee, sementara sebagai mudharib, operator berhak atas bagi hasi sesuai dengan rasio keuntungan yang disepakati.
Akad-akad di atas kemudian membentuk beberapa model yang digunakan oleh asuransi syariah, seperti model mudharabah dan model wakalah. Dalam perjalananya, model-model di asuransi syariah tidak lahir secara instan. Model-model tersebut dibangun dan dikembangkan oleh ulama dan industri dengan pendekatan trial and error: satu model hadir untuk mengganti atau pengembangan model lain sebagai sebuah proses mencari format ideal untuk asuransi syariah. Tulisan ini mencoba memotret evolusi model-model yang digunakan dalam industri asuransi syariah.
Dari Model Mudharabah Ke Model Hybrid
Model mudharabah adalah model pertama yang dipakai dalam operasionalisisi industri asuransi syariah, baik di Malaysia maupun di Indonesia. Dalam model ini, operator berperan sebagai manajer (mudharib) sedangkan peserta adalah pemilik dana (rabb maal).  Dengan posisinya sebagai pengelola dana, operator akan mendapatkan bagi hasi dari keuntungan investasi berdasarkan rasio yang disepakati. Surplus, jika ada, akan dikembalikan semuanya kepada peserta. Ketika terjadi defisit, operator disyaratkan untuk menyuntikkan dana dalam bentuk qard hasan (hutang).
Model mudharabah, dalam formatnya yang masih genuine ini, tidak cukup diminati oleh operator asuransi syariah. Ketiadaan hak operator untuk mendapatkan bagian surplus membuat model ini tidak terlalu menguntungkan menurut kalkulasi bisnis. Sebab itulah, model ini mengalami pengembagan dan lahirlah pada tahapan berikutnya modified mudharabah model (model mudharabah yang dimodifikasi).
Berbeda dengan model mudharabah dalam bentuknya yang masih genuine, melalui model ini, operator akan melakukan bagi hasil dari surplus, bukan dari keuntungan investasi. Tekhniknya, profit dari aktifitas investasi akan digabungkan ke dalam dana peserta, yang selanjutnya digunakan untuk membayar klaim, penyisihan untuk reserve dan kontribusi untuk reasuransi syariah. Sisanya adalah surplus yang akan dibagi antara operator dan peserta berdasarkan rasio yang disepakati. Dalam konteks ini, operator memperlakukan surplus sebagai profit.
Praktik model mudharabah dalam asuransi syariah memicu sederet kritik dari banyak kalangan. Ayub (2008) mengatakan, konsep mudharabah sangat cocok untuk model perbankan, tetapi tidak untuk asuransi. Penggunaan akad mudharabah di asuransi syariah akan mencerabut karakter akad mudharabah dari akarnya. Asuransi syariah dibangun di atas konsep tolong menolong, sedangkan mudharabah adalah kontrak berbasis komersial: dua kontrak dengan dua kutub yang berbeda dan tujuan yang berlawanan.
Penggunaan mudharabah ini akan melahirkan ambigu: mungkinkah secara syariah dana tabarru\' peserta pada saat yang bersamaan dianggap sebagai modal mudharabah (ra\'sul mÉl)? Sementara tabarru\' berkonsekwensi lepasnya kepemilikan peserta, dalam  mudharabah, modal tetap menjadi milik rabb maal (peserta). Ketika terjadi defisit, apakah kewajibah operator untuk menyuntikkan dana dalam bentuk qard sesuai dengan konsep dasar mudharabah? padahal operator hanyalah pengelola yang tidak mesti menjamin keutuhan modal. Dalam modified mudharabah model, pertanyaan tambahan bisa dilayangkan: apakah dalam Islam profit sama dengan surplus? Padahal profit adalah  keuntungan dari aktifitas investasi sedangkan surplus adalah gabungan dari profit dan dan  risiko (tabarru\') setelah dikurangi biaya-biaya terkait. Bolehkan perusahaan asuransi syariah berbagi surplus seperti yang dipraktikkan di asuransi konvensional? dan sederet tanya lainnya.
Banyaknya isu syariah dan kritik terhadap model mudharabah mendorong para ulama dan praktisi industri asuransi syariah untuk mencari alternatif lain. Para ulama lalu memperkenalkan model berbasis wakalah. Perusahaan asuransi syariah secara perlahan mulai meninggalkan model mudharabah dan bergeser pada model wakalah. Dalam model ini, operator bertindak sebagai wakil dari peserta untuk mengelola dana, baik dana risiko maupun dana saving dan investasi. Sebagai kompensasinya, operator akan mendapatkan fee sesuai dengan kesepakatan di awal kontrak. Surplus, jika ada, akan dikembalikan kepada para peserta.
Kendati demikian, model wakalah dalam bentuknya yang masih genuine ini juga kurang menarik minat operator. Menurut kalkulasi bisnis, model ini kurang profitable karena operator hanya mendapatkan fee. Maka model ini pun dikembangkan dan lahirlah apa yang disebut dengan modified wakalah model (model wakalah yang dimodifikasi). Melalui model ini, operator, di samping berhak untuk mendapatkan fee berdasarkan akad wakalah, juga akan mendapatkan bagian surplus atas dasar ju\'alah atau performance fee.
Pada awal diperkenalkanya model modifikasi ini, operator asuransi syariah di Malaysia mengambil sampai 90% surplus, hanya 10% yang dikembalikan kepada peserta. Kondisi ini juga terjadi dan dipraktikkan di Saudi Arabia bahkan sampai saat ini. Tetapi banyaknya kritik terhadap praktik pengambilan surplus yang cenderung eksploitatif dan tidak berdasar mendorong Bank Negara Malaysia mengeluarkan aturan pengambilan performance fee yang diterjemahkan dalam Takaful Operational Framework (TOF). Dalam aturan ini, operotor hanya berhak mengambil bagian maksimal 50% dari surplus. Sisanya dikembalikan kepada peserta.
Pembagian \"kue\" surplus atas dasar performance fee dalam modified wakalah ini juga tidak lepas dari sorotan banyak pihak. Pasalnya, penetapan performance fee didasarkan pada kemampuan operator dalam mengelola dana risiko. Basis penetapan model ini akan susah diukur karena dengan mudah bisa dimanipulasi. Misalnya, untuk menghasilkan surplus yang besar, klaim dari peserta dipersulit, penyisihan reserve dipersedikit, atau porsi reasuransi dikurangi. Banyak kalangan menilai, akan lebih fair jika performance fee didasarkan pada kemampuan operator dalam mengelola dana investasi. Ambil contoh, jika operator berhasil menghasilkan profit di atas 10%, maka kelebihan dari target itu akan menjadi hak operator.
Cerita realita bahwa pembagian surplus dalam modified wakalah menuai banyak sorotan mendorong para ulama dan pelaku industri kemudian mengembangkan sebuah model baru yang dikenal dengan hybrid model: sebuah model kombinasi antara akad mudharabah dan akad wakalah. Model ini banyak digunakan khususnya pada asuransi keluarga (family takaful) di mana dana peserta dibagi menjadi dua bagian: sebagian untuk dana risiko (tabarru\'), sebagian lainnya untuk dana saving dan investasi.
Dalam hybrid model, operator menggunakan akad wakalah untuk mengelola dana risiko dan berhak atas fee. Sementara untuk pengelolaan dana investasi, kontrak yang digunakan adalah mudharabah. Sebagai kompensasi, operator akan mendapatkan bagi hasil dari profit investasi sesuai dengan rasio yang disepakati. Dalam model ini, isu surplus tidak mengemuka. Karena surplus akan dikembalikan semuanya kepada peserta.
Kendati demikian, pendekatan hybrid model ini pun bukan berarti menyelesaikan problem. Pasalnya, akar masalah sebenarnya terdapat pada penggunaan konsep tabarru\'. Tabarru\' dalam asuransi syariah diterjemahkan bukan dalam format idealnya: peserta wajib melakukan tabarru\' jika ingin mendapatkan indentifikasi (iltizam bit tabarru\'); atau dengan kata lain, peserta hanya akan ber-tabarru\'  jika mendapatkan identifikasi di kemudian hari (hibah bi thawab). Kondisi ini lalu melahirkan kesimpulan banyak pihak: konsep tabarru\' dengan model seperti di asuransi syariah kurang pas karena akan menggeser asuransi syariah dari akad berbasis sosial (tabarru\'i) ke akad berbasis komersial (mu\'awadhat).
Rumitnya menetapkan model yang menjadi konsensus semua pihak dalam industri asuransi syariah mendorong para ulama dan peneliti terus melakukan eksplorasi dan kajian untuk menemukan model yang paling pas, baik secara syariah maupun secara kalkulasi bisnis. Mufti Taqi Utsmani mengembangkan model waqf yang dikombinasikan dengan akad wakalah. Model ini secara sukses dikembangkan di Pakistan dan Afrika Selatan.
Dalam model waqf, shareholder menginisiasi pembentukan dana waqf, diikui oleh peserta dengan membayar donasi dan dimasukkan ke dalam dana waqf. Operator diangkat sebagai wakil untuk mengelola dana waqf dan berhak atas fee. Dana waqf lalu diinvestasikan. Hasil investasi, setelah dikurangi bagian operator atas dasar performance fee, dimasukkan kembali ke dalam dana waqf. Semua biaya-biaya klaim, penyisihan reserve dan reasuransi syariah diambilkan dari  dana waqf. Sementara surplus dikembalikan kepada dana waqf. Lagi-lagi, model waqf ini pun tidak serta merta lepas dari kritik. Ini karena sejatinya dana waqf bisa dimanfaatkan oleh yang kaya dan utamanya yang memerlukan. Tetapi pada praktek di asuransi syariah, hanya orang-orang kaya (baca: peserta) yang berhak menikmati dana waqf.
Saat ini para peneliti sedang melakukan eksplorasi kemungkinan diterapkannya model wadiah yad dhamanah (titipan dengan jaminan). Mereka meyakini, walaupun belum dilakukan testing pasar dan belum memiliki sejarah kesuksesannya, model ini mampu mengatasi isu surplus dan tabarru\'.  Kalangan lain menilai bahwa model terbaik dalam asuransi syariah adalah model yang diajarkan oleh Rasulullah dalam dua hadithnya mengenai konsep tanahud yang diterjemahkan dengan istilah musharakah ta\'awuniyyah.
Alaa kulli haal, perjalanan asuransi syariah masih panjang dan berliku. Banyak masalah dan isu-isu syariah yang mesti dilaluinya. Model-model operasional asuransi syariah masih menyisakan seabrek pekerjaan rumah bagi semua kalangan, utamanya para ulama, peneliti dan industri. Sebab itu, penelitian dan kajian yang intensif mutlak diperlukan untuk menghadirkan sebuah model ideal yang menjadi landasan pijak dari operasional asuransi syariah: sebuah model yang menjadi jembatan tercapainya maqashid syariah. Wallahu a\'lam .(Opini dalam artikel ini adalah pendapat pribadi dan tidak mesti merefleksikan pandangan ISRA).
mahbubi@isra.my

http://www.go-sharing.com



Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon