Bai' Istighlal



GUSTANI.ID - Jual - Beli (Bai') dalam ilmu fikih muamalah memiliki jenis yang sangat beragam, salah satunya adalah Bai' Istighlal. Apa itu Bai' Istighlal ?

Definisi Bai' Istighlal


و هو أن تباع العين بيع الوفاء علي أن تستأجر البائع المبيع أي أن المشتري ينتفع من المبيع باجارته للبائع نفسه

Yaitu barang dijual secara bay’ wafa, selanjutnya penjual menyewa kembali barang tersebut. Artinya, pembeli mengambil manfaat dari barang tersebut dengan menyewakannya kepada penjual sendiri (Kitab Fiqh Riba, Abdul Azhim Jalaluddin Abu Zaid, Beirut Muassah ar-Risalah, 2004, hlm 540). 

”This transaction of sale and leaseback is similar to Bay’ al-wafa’ contract or bay’ al-istighlal which can be considered as a form of Bay’ al-wafa’ contract, allowed by some fuqaha’, but not by Majma’ al-Fiqh al-Islami in Jeddah in 1412AH (1992).

Rumusan Definisi Bay Istighlal Menurut Majallah al-Ahkam al-’Adliyah Pasal 119

Jual beli istighlal ialah jual beli wafa’ dengan syarat bahwa si penjual menyewa kembali barang yang dijualnya dari pembeli. Contoh : Si A menjual rumah kepada si B dengan harga 1 milyar rupiah, kemudian si A menyewa rumah itu kembali dengan harga Rp 80. Juta untuk jangka waktu satu tahun.

Sukuk dengan konsep Bay’ Istighlal

  • Berdasarkan rumusan konsep bay istighlal, maka sukuk (obligasi syariah) dapat menggunakan tersebut dalam penerbitan SBSN
  • Konsep sukuk ijarah yang dikembangkan saat ini tidak lain adalah Bay’ Istighlal, yaitu bay’ wafa’ yang disertai ijarah di dalamnya.

Sukuk Bay Istighlal


Obligasi dengan Bay Istighlal (tanpa SPV)
  1. Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun mendatang
  2. Sekarang asset menjadi milik Investor. Selanjutnya pemerintah menyewa (ijarah) asset itu kpd investor yang dibayar setiap 3 bulan
  3. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tsb.

Para ahli ekonomi saat ini menyebut produk ini dengan Sukuk ijarah. Padahal menurut konsep fiqh muamalah namanya adalah Bay Istighlal.

Bay Istighlal (Obligasi Ijarah)
1. Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun mendatang
2. Dana Investor masuk ke pemerintah
3. Pemerintah sbg issuer (penerbit sukuk) menyerahkan sukuk kepada investor
4. Sekarang asset menjadi milik Investor secara syirkah, Dalam masa 10 tahun, pemerintah menyewa (ijarah) asset tersebut kepada investor yang dibayar setiap 3 bulan sekali.
5. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tersebut.

Bay wafa dalam Majallah al-Ahkam al-’adliyah
Pasal 116 :
• Dalam hal suatu jual beli yang tergantung pada hak penebusan kembali, maka penjual bisa mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan meminta kembali barangnya. Sama halnya pembeli bisa mengembalikan barang tersebut dan meinta uangnya kembali seharga barang itu. (jika telah jatuh tempo)

• Berdasarkan definisi tersebut, harga pembelian kembali oleh penjual harus sama dengan harga penjualan pertama. Jika terjadi kelebihan, maka jual beli tersebut tergolong jual beli al’’inah yang dilarang dalam Islam.

Pasal 397
Suatu barang julan yang tergantung pada hak penebusan, maka barang itu tidak boleh dijual kepada orang lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli

Pasal 398
• Apabila disyaratkan dalam jual beli wafa’, bahwa sebagian keuntungan dari barang yang terjual diperuntukkan bagi pembeli, maka persyaratan tersebut adalah sah.

• Contoh : Kedua pihak sepakat bahwa hasil kebun sawit dibagi (sesuai nisbah yang disepakati) antara penjual dan pembeli, maka akad itu sah dilaksanakan

Pasal 399
• Jika nilai barang yang dijual sama dengan jumlah hutang dan kemudian barang tersebut rusak ketika berada di tangan pembeli, maka hutang yang dibuat menjadi lunas.

• Contoh harga rumah yang dijual sebesar Rp 300.000.000,-. Dan harga ini sesuai dengan nilai riil rumah tersebut, (harga pasar). Kemudian rumah tersebut rusak di tangan pembeli, maka si pembeli tidak perlu menebus barangnya. Dengan kata lain jika uang sebesar Rp 300 juta disebut sebagai hutang, maka hutang tersebut menjadi lunas

Pasal 400
Jika nilai barang yang dijual secara bay wafa tersebut lebih kecil dari hutang dan kemudian rusak (hancur) ketika berada di tangan npembeli, maka hutang menjadi hapus senilai barang tersebut. (Pembeli bisa menuntut sejumlah uang kekurangannya dari penjual).

Pasal 401
Jika nilai barang yang dijual lebih besar dari hutang dan hancur di tangan pembeli, maka sejumlah uang yang setara dengan besarnya hutang diambil dari nilai barang. Jika pembeli telah membuat kesalahan, maka ia harus mengganti kerugian sesuai dengan kesalahannya. Jika ia tidak melakukan kesalahan dan barang itu telah hancur, maka pembeli tidak diwajibkan mengganti kerugian.

Pasal 402
· Jika salah seorang dari kedua pihak meninggal dunia, maka hak pembatalannya dialihkan kepada ahli waris dengan cara pewarisan. Berdasarkan rumusan definisi dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada bay wafa’ terlihat bahwa bay wafa’ ini merupakan gabungan (kombinasi) antara jual beli dan rahn. Bay wafa berbentuk rahn, karena pihak pertama memiliki hak penebusan barangnya dan pihak kedua tidak boleh menjualnya kepada pihak lain. Disebut jual beli, karena akadnya berbentuk jual beli dan barang yang dijual dapat dimanfaatkan dan hasilnya dapat dinikmati penjual selaku pihak kedua.

· Oleh karena bay wafa merupakan jual beli, maka ketika tiba masa jatuh tempo (misalnya setelah1 tahun), pembeli (pihak II) menjual kembali barang tersebut kepada penjual selaku pihak I. Jadi, dalam kasus ini terjadi dua kali jual beli. Jual belinya disebut Bay maushufah biz-zimmah (jual beli yang disifati dengan tanggung jawab (kewajiban) menjual kembali kepada pihak I (penjual).

Apakah bay’ wafa’ tergolong Gharar ?
Dari perspektif studi akad, kelihatannya pada bay wafa terdapat dua bentuk akad, yakni jual beli dan gadai. Lalu apakah bay wafa ini tergolong gharar karena akadnya tidak jelas, apakah jual beli atau rahn ? Praktik ini dibolehkan berdasarkan ‘urf dan istihsan.

Akadnya bukan jual beli murni dan juga bukan rahn murni, tetapi kombinasi keduanya. Bay wafa’ bukan gharar, tetapi sebuah kontrak baru yang hak/kewajiban para pihak cukup jelas. Demikian pula status asset yang dijadikan obyek dalam kontrak ini sangat jelas. Analogikan kepada Sewa-beli pada leasing?

Jika cara berpikir kita atau ulama masa lampau (berijtihad) dalam kasus ini, sempit, dan mencocok-cocokkan saja konsep “baru” ini dengan jual beli atau rahn atau akad-akad yang lain, maka jual beli bisa mengandung gharar, karena tidak jelas apakah akadnya jual beli atau rahn. Cara berijtihad seperti itu jelas tidak tepat, karena akad-akad bentuk baru selalu muncul dalam masyarakat. Jadi akad tersebut tidak harus sama dengan jual beli murni atau rahn murni atau juga ijarah murni.

Kasus munculnya akad bentuk baru saat ini antara lain adalah sewa-beli (lease and purchase) dalam lembaga leasing. Adiwarman Karim dalam buku Bank Islam, memandangnya gharar dan haram, karena akadnya tidak jelas apakah sewa atau jual beli dan proses kepemilikan menjadi kabur. Ijtihad seperti itu dikarenakan metodenya mencocok-cocokkan suatu akad baru dengan akad-akad fiqh klasik. Ketika di dalamnya terdapat ketidakjelasan apakah jual beli atau sewa, maka lantas divonis gharar.

Dalam ijtihad di bidang muamalah diperlukan ilmu falsafah tasyri’ fil muamalah dan ushul fiqh yang komprehensif. Padahal akad sewa beli (bay al-takjiri) tersebut adalah bentuk akad baru, sebagai kombinasi ijarah dan jual beli.

Mengenai proses kepemilikan dan hak-hak yang melekat pada kontrak itu disesuaikan dengan penjanjian para pihak. Misalnya jika terjadi kerusakan asset, dapat disepakati, ditanggung oleh nasabah. Status kepemilikan asset dapat juga disepakati dalam klausul akad. Bahwa asset tersebut tetap menjadi milik perusahaan leasing, sepanjang masa pembayaran sewa belum lunas. Jika cicilan sewa telah lunas, maka otomatis asset tersebut menjadi milik nasabah, tanpa membuat akad baru, tetapi cukup dibunyikan pada akad pertama. Redaksinya bisa berbunyi, jika cicilan sewa telah lunas dalam jangka waktu tertentu, maka asset tersebut menjadi milik nasabah dengan beli.

Kalau metode ijtihad seperti itu yang dilaksanakan, maka para ahli ekonomi islam, akan kesulitan menemukan nama akad konsinyasi saat ini, apakah wakalah, wadiah atau jual beli. Ketika tidak ada yang tepat, lalu dikatakan gharar. Metode seperti ini jelas sangat tidak tepat. Jadi akadnya tidak murni jual beli atau wakalah atau wadi’ah. Tetapi bisa gabungan antara berbagai akad. Jika disebut jual beli tidak tepat sepenuhnya, karena barang bisa tidak jadi dibeli pedagang. Disebut titipan, ternyata barang tersebut ditip untuk dijual. Disebutkan wakalah untuk menjual, ternyata kadang-kadang wakalah untuk menjual tidak terlaksana. Jadi nama akadnya ya konsinyasi, sebuah bentuk baru akad dalam kegiatan perdagangan. Demikian juga akad waralaba (franchising) yang banyak diterapkan saat ini.

sumber:http://www.facebook.com/topic.php?uid=255621610421&topic=15817 (komunitas perbankan syariah)

Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon