Oleh : Wahyudi Hidayat
Dkutip dari : http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/04/13/profit-equalization-reserve-per-dan-investment-risk-reserve-irr-dan-idealisme-ber-bank-syariah-454257.html
 
Sebuah ringkasan (Artikel Sundararajan)
 
 
Perhitungan PER di Malaysia
 
 
 
 
 
 
 
Dkutip dari : http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/04/13/profit-equalization-reserve-per-dan-investment-risk-reserve-irr-dan-idealisme-ber-bank-syariah-454257.html
Sebuah ringkasan (Artikel Sundararajan)
Ekspansi yang begitu cepat dari Industri Keuangan Islam dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan kebutuhan akan sebuah  kebijakan untuk membantu mengintegrasikan keuangan Islam dalam sistem keuangan nasional dan global.  Secara khusus, desain dan implementasi Basel II yang standarnya setara untuk  Bank
 Islam, dan penerapan sistem manajemen risiko yang efektif , yang 
mencerminkan fitur operasional khusus keuangan Islam, semakin mengemuka. Walaupun IFSB (Islamic Financial Service Board) telah mengeluarkan berbagai standar kehati-hatian dan pedoman yang sejalan dengan Basel II dan juga cocok dengan sistem  Keuangan Islam, penerapan standar ini memerlukan pendekatan pengukuran resiko yang baru. Khususnya, sebuah isu sangat penting dalam pengelolaan risiko  oleh Bank Syariah  secara
 global, adalah bagaimana mengukur dan mengelola risiko yang 
berkarakteristik bagi hasil (mudharabah) ,yang merupakan sumber utama 
pendanaan Bank Syariah. Skema Bagi Hasil yg di miliki oleh deposan 
merupakan sekitar 62% dari aset rata-rata dari  contoh 12 bank syariah di  negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara. 
Pada dasarnya PER (Profit Equalization Reserve)  dan IRR  (Investment
 Risk Reserve) adalah sebuah Instrumen yang di gunakan untuk 
mengantisipasi kerugian dari asset yang diinvestasikan, baik dari sisi 
Bank maupun dari pemilik rekening simpanan/shaibul maal. Tujuannya 
adalah untuk memberikan tingkat profitabilitas/kepastian yang lebih 
tinggi dari nature bisnis syariah, utamanya Bank syariah yang cenderung 
memiliki tingkat volatilitas lebih dari daripada Bank Konvensional dikarenakan implementasi transaksi-transaksi berakad mudharabah/musyarakah. Dalam
 bahasa ekonomisnya adalah bahwa implementasi dari PER dan IRR ditujukan
 untuk membantu mengelola tingkat Displaced Commercial Risk (DCR) yang 
didefinisikan sebagai sebuah resiko yang muncul ketika Bank Syariah 
berada dalam tekanan untuk memberikan hasil (return) yang lebih tinggi 
kepada  Investor/deposannya melebihi yang seharusnya 
diberikan berdasarkan kontrak investasi sebelumnya. Banyak alasan yang 
dikemukakan terkait isu DCR tersebut, salah satunya adalah masalah 
likuiditas Bank Syariah, dimana ketika bagi hasil lebih rendah dari Bank
 Konvensional, dikhawatirkan akan terjadi “fund flight” yang 
cukup besar dari Bank Syariah ke Bank Konvensional dikarenakan suku 
bunga konvensional lebih tinggi dibanding imbal hasil Bank Syariah, 
dengan demikian, likuiditas dari Bank-Bank Syariah tersebut menjadi 
semakin menipis.
Profit
 equalization reserve (PER) sendiri menurut standar The Accounting and 
Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) adalah
 sebagian dari pendapatan kotor dari pendapatan murabahah yang 
dikeluarkan/disisihkan , sebelum mengalokasikannya ke bagian Mudharib 
dengan tujuan untuk memberikan return/hasil yang lebih merata kepada 
pemilik rekening dan pemegang saham. Sedangkan Investment Risk Reserve 
adalah sebagian dari pendapatan Investor yang disesuaikan dengan cara 
mengurangi bagian dari pendapatan mudharib yang bertujuan 
untuk menutupi kerugian-kerugian di masa yang akan datang pada sebuah 
Investasi yang dibiayai dengan skema pembiayaan berbentuk/berakad bagi 
hasil.
Secara
 prinsip, pada kontrak mudharabah, semua kerugian (disebabkan oleh 
resiko kredit dan pasar) ditanggung oleh Investor, sedangkan 
profit/keuntungan dibagi antara Investor dan mudharib secara 
proporsional sesuai kontrak. Namun, setiap kerugian yang diakibatkan 
oleh “kesalahan dan kelalaian” (resiko operasional), ditanggung oleh 
mudharib.
Namun dengan diberlakukannya PER atau IRR, Bank Syariah dapat menjaga pembayaran kepada investor tetap berada pada level “pasar”
 walaupun hasil aktual dari asset yang diinvestasikan melampaui ataupun 
dibawah suku bunga pasar . PER yang diakumulasikan tersebut yang 
sebenarnya ekuitas dari investor dan pemegang saham dapat ditarik 
kemudian untuk meratakan imbal hasil ketika imbal hasil dari sebuah 
investasi menurun, begitu pula dengan akumulasi IRR, yang sebenarnya 
merupakan milik investor dapat digunakan untuk menutupi 
kerugian-kerugian yang dapat saja muncul dimasa yang akan datang. 
Sebagai tambahan, ketika akumulasi PER tidak mencukupi dalam memberikan 
imbal hasil yang “selevel” dengan suku bunga pasar, Bank Syariah dapat 
saja memberikan sebagian dari porsi pendapatan mereka kepada 
investor/depositor. Ketersediaan
 informasi yang dipublikasikan oleh Bank Syariah dalam hal praktek PER 
dan IRR sangat terbatas. Dalam sebuah analisa atas pengungkapan praktek 
tersebut (berdasarkan laporan tahunan 2001 – 2003), hanya sekitar 30% 
saja dari bank-bank yang disurvei, yang mengungkapkan jumlah PER dalam 
neraca mereka (sundararajan 2005). Kebanyakan dari Bank 
Sentral, menyerahkan metodologi perhitungan mudharabah, baik PER maupun 
IRR, ditentukan oleh kebijakan Bank-Bank Syariah itu sendiridan tidak ada persyaratan pengungkapan tertentu pengawasan atas  PER / IRR, selain yang timbul dari standar akuntansi yang berlaku. 
Kesimpulan Artikel
Analisis
 di atas menunjukkan bahwa penggunaan IRR adalah kunci untuk menutupi 
potensi kerugian atas aset yang diinvestasikan oleh investor, dan PER  dibutuhkan untuk meratakan imbal hasil,  sehingga
 pengembalian yang diharapkan oleh investor dapat diberikan dalam 
menghadapi volatilitas imbal hasil, dan dengan demikian dapat membantu 
mengelola tingkat DCR; tetapi hubungan antara  PER / IRR dan DCR adalah kompleks. Jumlah minimal tertentu yang diperlukan untuk memastikan  bahwa kombinasi risiko imbal hasil yang dibutuhkan investor memiliki tingkat  probabilitas yang tinggi,  penggunaan
 IRR untuk mengimbangi kerugian Bank dalam membiayai sebuah proyek. 
Sebuah kombinasi yang tepat harus diputuskan oleh manajemen Bank Syariah
  berdasarkan dugaan dari penggunaan yang mungkin dari cadangan di masa depan. Ini akan,  Hal penting selanjutnya adalah  menetapkan batas kehati-hatian pada ukuran  PER dan IRR untuk memastikan prinsip berbagi risiko dan imbalan antara  pemegang saham dan IAH (Investment Account Holder). 
Profit Equalization Reserve (PER) dan Investment Risk Reserve (IRR) dan (Idealisme) Ber Bank Syariah
Bank Indonesia (BI) mulai mengawasi perhitungan manajemen dua risiko tambahan di bank syariah, yakni risiko investasi (Equity of investment risk) dan risiko imbal hasil (rate of return risk). Meski belum diperhitungkan dalam penilaian risiko (risk profile),
 bank syariah diminta menghitung berapa modal untuk pengelolaan kedua 
risiko tersebut. Kedua risiko itu telah diterbitkan dalam Peraturan Bank
 Indonesia (PBI) No mor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen 
Risiko bagi Bank UmumSyariah dan Unit Usaha Syariah. Sebagai pembanding,
  Profit Equalization Reserve (PER)  diperbolehkan
 di digunakan oleh Bank-Bank Syariah di Malaysia sekitar 12 tahun yang 
lalu. PER disetujui oleh Dewan Syariah Nasional Bank Negara Malaysia 
(BNM) setelah mendapat rekomendasi dari Association of Islamic Banking 
Institution Malaysia (AIBIM) yang ditujukan untuk memitigasi 
disparitas/perbedaan laba simpanan/suku bunga antara Bank-Bank 
Syariah/Unit Usaha Syariah dan Bank-Bank Konvensional. 
Bagi
 yang sangat percaya bahwa bunga/“riba” hukumnya haram dalam Islam, maka
 mereka akan tetap menempatkan dananya di Bank-Bank Syariah tanpa 
memperdulikan suku bunga yang ditawarkan oleh Bank Konvensional.; Namun 
bagi yang lain (khususnya-Non Muslim), sangat alamiah bagi mereka, 
menempatkan dananya ke Bank-bank yang menawarkan suku bunga
 tertinggi untuk memaksimalkan hasil. Maka, bagi investor yang tidak 
peduli apakah system bank “halal” atau “tidak halal”, ketika Bank 
Syariah menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dari bunga bank, ia 
akan memindahkannya ke Bank Syariah. Sebaliknya, ketika bank 
konvesnisonal juga menawarkan yang lebih tinggi, maka ia akan 
memindahkan dananya ke Bank konvensional. Tentu saja, kita juga tidak 
dapat menyangkal bahwa ada investor/nasabah yang puas 
terhadap satu bank karena layanannya, tanpa memperdulikan tawaran suku 
bunga di pasar, dan mereka tetap setia terhadap bank tersebut. Melihat 
skenario diatas, untuk sebuah bank konvensional yang memiliki anak 
perusahaan atau unit usaha syariah, sangat tidak masuk akal, jika sebuah
 system (anak perusahaan/UUS) memberikan imbal hasil yang lebih besar 
dan menjadi beban/pengeluaran bagi perusahaan Induknya. Maka dari itu,  AIMIM
 menawarkan PER yang kemudian disetujui oleh Dewan Syariah Nasional Bank
 Negara Malaysia. Namun ada sebuah komentar menyikapi pemberlakuan PER 
tersebut, bahwa PER seharusnya tidak diteruskan, ketika asset perbankan 
syariah di Malaysia sudah mencapai 40 % - 50 % dari total asset 
perbankan konvensional, untuk memastikan kedua system bermain pada level
 yang sama. 
Perhitungan PER di Malaysia
Profit Equalization Reserve (PER) di Malaysia dapat di laksanakan dengan persyaratan sebagai berikut :
- Akumulasi Maksimum dari PER tidak melebihi 30 % dari dana/modal Pemilik saham.
- Maksimal transfer PER bulanan tidak melebihi 15 % dari laba kotor sebelum distribusi bagi hasil. Maka, pada bulan-bulan tertentu ketika ada recovery yang cukup besar, imbal hasil dapat saja lebih besar dari biasanya.
- Penggunaan yang tidak terbatas untuk mendukung rate imbal hasil ketika terjadi pendapatan yang rendah pada bulan tertentu; yang mungkin saja disebabkan oleh provisi kredit yang tinggi dari biasanya, tambahan provisi khusus atau untuk menyesuaikan dengan suku bunga konvensional yang disebabkan oleh kenaikan Overnight Policy Rate (OPR) yang secara langsung mempengaruhi suku bunga dasar kredit bank konvensional .
Dampak – Transfer keuntungan ke PER
Ketika
 keuntungan ekstra (misalnya dibagi antara Bank dan Nasabah) di transfer
 sebagai PER yang pada dasarnya untuk menhindari pembayaran imbal hasil 
yang tinggi (atau mengurangi beban Mudharabah General Investment 
Account), agar tidak lebih tinggi dari Bank Konvensional, dampaknya 
terhadap Bank Syariah adalah sebagai berikut :
- PBT (Profit Before Tax) bulan berjalan akan berkurang (menjadi pengurang PBT, karena laba bank berkurang akibat transfer ke pos PER);
- R” rate/suku bunga (mengacu kepada Islamic Interbank Money Market: IIMM) juga akan berkurang. Hal ini berarti, Bank syariah yang menempatkan dananya pada Bank lain melalui Islamic Interbank Money Market, akan dibayar dengan rate yang lebih rendah dari pada rate penempatan indikatif.
Contoh: 
Bank
 X menempatkan dananya di Bank Syariah dengan indicative rate (untuk 
menentukan Profit Sharing Ratio) sebesar 3.5% p.a. Diasumsikan suku 
bunga penempatan sebesar 6.4 % p.a, namun pada saat “Maturity date” 
(diasumsikan saat ini), suku bunga berkurang menjadi 6.25 % p.a 
(berkurang sebanyak 0.15% p.a).  Pada penempatan, Rasio profit sharing ( PSR) adalah  (3.5 /6.40 ) = 54.68 : 45.32 (Bank X : IIMM bank); namun pada saat “jatuh tempo” , Bank X  akan dibayar sebesar (6.25 x 54.68%) = 3.42% p.a. (lebih rendah 0.08%  dari indicative rate). Hasilnya , adalah  (+) positive untuk Bank syariah.
Dampak Penggunaan  PER
Ketika
 pilihannya adalah tidak meningkatkan Rasio Profit Sharing tapi 
memanfaatkan PER untuk menunjang rate imbal hasil untuk menyesuaikan 
dengan suku bunga konvensional, dampak terhadap bank adalah sebagai 
berikut :
- PBT (Profit Before Tax) bulan berjalan akan meningkat; (karena adanya transfer dana dari pos PER ke Income statement, sehingga nilai PBT akan naik).
- “R” rate (mengacu kepada IIMM) juga akan meningkat. artinya, IIMM bank yang menempatkan dananya kepada Bank X akan dibayar lebih tinggi dari indicative rate ketika penempatan benar-benar dilakukan.
Contoh: 
Bank Y menempatkan dana pada Bank Syariah dengan indicative rate sebesar 3.5% p.a. diasumsikan “r” rate penempatan adalah 6.40% p.a. Namun pada saat jatuh tempo, tingkat “r” naik menjadi 6.65% p.a. Rasio Profit Sharing untuk penempatan tersebut adalah (3.5 / 6.40%) = 54.68: 45.32 (Bank Y: Bank X) namun pada saat jatuh tempo, Bank Y akan dibayar sebesar (6.65 x 54.68%) = 3.63% p.a. (lebih tinggi 0.13%). Hasilnya adalah (-) negative untuk Bank Syariah.
Bank Y menempatkan dana pada Bank Syariah dengan indicative rate sebesar 3.5% p.a. diasumsikan “r” rate penempatan adalah 6.40% p.a. Namun pada saat jatuh tempo, tingkat “r” naik menjadi 6.65% p.a. Rasio Profit Sharing untuk penempatan tersebut adalah (3.5 / 6.40%) = 54.68: 45.32 (Bank Y: Bank X) namun pada saat jatuh tempo, Bank Y akan dibayar sebesar (6.65 x 54.68%) = 3.63% p.a. (lebih tinggi 0.13%). Hasilnya adalah (-) negative untuk Bank Syariah.
Malaysia ≠  Indonesia
Bagaimanapun Malaysia
 tidaklah sama dengan Indonesia, dari sisi demografi, kukltur dan 
teologis mayoritas, tidak dapat disandingkan dengan Malaysia, apalagi 
menjadikan Malaysia sebagai rujukan. Dalam hal pemberlakuan PER , 
setidaknya ada 2 (dua) hal penting yang dapat dijadikan alasan untuk 
tidak menjadikan PER sebagai sebuah solusi untuk meningkatkan market 
share Bank Syariah di Indonesia. Pertama : Jumlah penduduk yang beragama Islam di Indonesia, jauh lebih besar dari Malaysia dan pertumbuhan perbankan syariah yang sebenarnya jauh lebih besar dari negara-negara lain termasuk Malaysia. Kedua :Potensi perbankan Syariah di Indonesia cukup besar, namun asetnya masih terbilang kecil. Sampai akhir 2011, dengan jumlah kantor per Oktober 2011 sebanyak 2.054
 unit (BUS,UUS dan BPRS )Nilai aset perbankan syariah pada Desember 2011
 telah mencapai Rp 149 triliun dengan Laba bersih perbankan syariah yang
 dapat di raup pada periode Januari—November 2011 mencapai Rp1,51 
triliun meningkat sebesar 36,04% dibandingkan dengan periode yang sama 
tahun sebelumnya. Nilai aset tersebut terdiri dari aset Bank Umum 
Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) sebesar Rp 145,5 triliun 
serta aset Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) sebesar Rp 3,5 triliun.
 Pada akhir 2010, aset perbankan syariah tercatat mencapai Rp 100,3 
triliun yang terdiri dari Rp 79,1 triliun aset BUS, Rp 18,3 aset UUS, 
dan Rp 2,7 triliun aset BPRS. Pada 2010, pangsa pasar bank syariah masih
 tercatat di level 3,28 persen. Pertumbuhan aset tersebut diikuti 
naiknya Dana Pihak Ketiga (DPK) di bank syariah yang mencapai 51,7 
persen dibandingkan akhir tahun 2010.  Total jumlah DPK bank syariah 
mencapai Rp 118 triliun per Desember 2011. Jumlah ini terdiri dari DPK 
BUS dan UUS sebesar Rp 115,4 triliun dan BPRS sebesar Rp 2,6 triliun.. 
Angka itu mencerminkan sekitar 4 persen dari total aset industri 
perbankan. Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia relatif cepat 
dalam lima tahun terakhir, aset perbankan syariah mencatat kenaikan 
hingga 49 persen dibandingkan posisi aset per akhir 2010. pertumbuhan 
aset perbankan syariah Indonesia relatif cepat dibandingkan rata-rata 
pertumbuhan perbankan syariah di negara lain, dimana rata-rata 
pertumbuhan perbankan syariah di dunia hanya 10-15 persen.  Hal
 ini menunjukkan bahwa sebenarnya bisnis perbankan syariah Indonesia 
tetap menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan tanpa harus 
mempergunakan PER, sebagai tawaran aktraktif bagi nasabah.
Hal 
lain yang menunjukkan bahwa Malaysia dan Indonesia tidaklah sama adalah 
berdasarkan riset tahun 2006 yg dilakukan oleh Ratu Humaemah, bahwa di 
Indonesia, khususnya Bank Mesga Syariah Indonesia mampu menarik nasabah dari etnis cina non muslim sebesar 42 % dari total 12.748 nasabahnya, itu berarti sebanyak 5.354 nasabah.
Terdapat 2 (dua) faktor yang mendasari etnis cina tersebut menjadi nasabah bank syariah. Pertama : Faktor Syariah,
 dimana sebenarnya pelarangan riba ternyata juga dilarang oleh, kristen,
 judasime, hindu dan budha (dalam bentuk yang mungkin berbeda). Dengan 
prinsip berbagi resiko yang digunakan oleh bank syariah, mereka merasa 
lebih nyaman dalam berinvestasi dan bertransaksi di bank syariah. Kedua : adalah faktor promosi dan sosialisasi yang merupakan faktor dominan dibalik kesediaan mereka menjadi nasabah bank syariah.  Selain
 itu faktor lokasi, layanan dan produk yang menawarkan berbagai macam 
keuntungan juga menjadi alasan nasabah etnis cina menjadi nasabah di 
Bank Syariah Mega Indonesia.
Argumentasi tentang bolehnya pemberlakuan PER menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah  bahwa,
 filosofi sistem ini mengikuti kisah Nabi Yusuf yang menyimpan panen 
gandumnya selama tujuh tahun karena memprediksi akan terjadi masa 
paceklik tujuh tahun kemudian. Selain itu sebuah dalil fikih menyebutkan
 bahwa kepentingan yang luas dapat mengalahkan kepentingan individu.  Hal
 ini menurut saya tidak relevan, karena “pencadangan” di masa nabi 
Yusuf, jauh berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh PER. Pencadangan di
 zaman Nabi Yusuf, memang ditujukan untuk kemaslahatan ummat dan bukan 
untuk tujuan komersiil, sedangkan pemberlakuan PER sepenuhnya bersifat 
komersiil dan lebih kepada kepentingan “Industri”, bukan filosofisnya. 
Aturan
 PER sebenarnya juga masih menyisakan banyak pertanyaan, karena 
dikhawatirkan adanya PER menyebabkan hak orang lain tertahan sehingga 
menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, seorang nasabah yang memutuskan 
keluar dari bank syariah tidak bisa mendapatkan haknya karena bank 
menahan sebagian bagi hasil. Padahal uang si nasabah sudah dipakai untuk
 menyalurkan pembiayaan. Akhirnya, hak itu malah diberikan kepada orang 
lain atau kalaupun PER diambil dari sebagian profit Bank pun, tetap ada 
salah satu pihak yang dikalahkan, artinya bisa saja hak karyawan untuk 
mendapatkan bonus/insentif dari sebagian laba menjadi semakin kecil 
porsinya. Pengamat Ekonomi Syariah Agustianto mengatakan, sebenarnya PER
 tidak pernah ada dalam sistem dan praktik fikih muamalah. Tetapi demi 
alasan bisnis dan guna merangkul masyarakat agar tetap setia di lembaga 
syariah, aturan PER kemudian diperkenalkan dan diterapkan di beberapa 
negara. Dalam kondisi terpaksa atau darurat maka PER bisa dilakukan, Itu
 pun sebaiknya, PER diberikan kepada nasabah-nasabah besar yang 
memberikan pengaruh signifikan bila menarik uangnya. Regulasi ini, 
menurut Agustianto, diperlukan karena bank syariah yang masih kecil 
harus berhadapan dengan hegemoni bank konvensional yang mendominasi. 
Namun bila masyarakat sudah memahami konsep bagi hasil dan risiko yang 
diusung perbankan syariah, aturan ini tidak diperlukan lagi. Jadi PER 
ini sifatnya sementara. Namun pertanyaannya sampai kapan dan apakah ada 
ukuran riilnya untuk menetapkan batasan waktu pemberlakuan PER.
Jumlah penduduk 
muslim Indonesia yang cukup besar merupakan pasar yang sebenarnya cukup 
menjanjikan bagi pertumbuhan perbankan syariah secara berkelanjutan 
(menurut PEW Forum on Religion & Public Life : 04 
November 2010, jumlah penduduk muslim Indonesia sebanyak 205 juta, 
bandingkan dengan Malaysia yang masuk 10 besar pun tidak). Banyak cara 
lain yang sebenarnya dapat dilakukan oleh Bank-Bank Syariah di Indonesia
 untuk meningkatkan asset dan kinerja bisnisnya tanpa harus menerapkan 
aturan PER yang sebeanrnya ditakutkan akan semakin menegaskan kritik 
sebagian orang termasuk muslim sendiri di dalamnya, bahwa bank syariah 
itu sama saja dengan bank konvensional. Walaupun misalnya, secara 
filosopis sangat berbeda antara Murabahah dan bunga flat/efektif di 
konvensional atau PER berbeda dengan suku bunga tetap, karena sebagian 
besar masyarakat Indonesia awam terhadap prinsip-prinsip syariah 
terutama dalam system perbankannya.
Fakta lainnya 
adalah bahwa sebenarnya rata-rata bagi hasil bank-bank syariah di 
Indonesia dengan membandingkan nisbah papan dan bunga papan, sudah cukup
 kompetitif, bahkan cenderung lebih tinggi daripada bank-bank 
konvensional. Di salah satu bank syariah di Indonesia , rata-rata bagi 
hasil deposito 12 bulan pada tahun 2011 misalnya, equivalent rata-rata 
bagi hasil bank tersebut mencapai angka 6.98%/tahun, hampir 1 % lebih 
tinggi dari bank Induknya yang hanya berkisar 6 %, jadi sebenarnya 
pemberlakuan PER, menurut saya tidak berasal dari Industri Perbankan 
Syariah di Indonesia dan seperti apa yang disampaikan oleh Bapak 
Agustianto diatas, melainkan “tekanan” dari pemilik dana besar.
Kesimpulan
Sebelum sampai 
pada kesimpulan atas ringkasan dan tulisan diatas, ada baiknya penuls 
menyampaikan ayat dalam Al Qur’an yang berbunyi “ La tudzlimu na walatudzlamu “ yang artinya tidak boleh menzhalimi orang lain dan tidak pula boleh dizhalimi orang lain” (QS. 2 : 279). Dalam konteks ini juga, seseorang tidak boleh membahayakan ataupun merugikan orang lain, sebagaimana sabda Rasul : “Tidak
 boleh ada bahaya (kerugian) pada diri sendiri, dan tidak boleh pula 
membahayakan (merugikan) orang lain” (HR. Ibnu Majah, Imam Malik dan 
Imam ad-Daruqutni). Mencoba memahami ringkasan artikel dari 
Sundararajan diatas dan dari beberapa pendapat ahli baik yang pro maupun
 kontra terhadap pemberlakuan PER pada simpanan  atau IRR pada pembiayaan, akhirnya penulis menyimpulkan beberapa hal penting, antara lain :
1. PER/IRR belum dan tidak perlu diberlakukan di Indonesia
2. Pendapat
 atas boleh tidaknya pemberlakuan PER, terbagi menjadi 3 (tiga) besaran 
pendapat yaitu : 1). Boleh, 2). Boleh namun terbatas baik besaran maupun jangka waktu penerapannya dan 3). menolak
3. Banyak
 hal yang sebenarnya dapat dilakukan untuk meningkatkan asset dan 
kinerja Bank Syariah di Indonesia tanpa harus memberlakukan PER, 
misalnya dengan meningkatkan akseseibilitas, layanan, benefit produk, 
variasi produk, promosi dan sosialisasi (belajar dari kasus Bank Syariah
 Mega Indonesia).
4. Jumlah
 penduduk muslim Indonesia yang besar merupakan market yang cukup 
potensial untuk keberlangsungan Industri Perbankan Syariah
5. Pertumbuhan
 Industri Perbankan Syariah jauh lebih tinggi dari negara negara lain, 
yaitu sebesar 49 %, sedangkan rata-rata negara lain hanya sebesar 10 -15
 % saja
6. Berdasarkan Nisbah papan, bagi Hasil Bank Syariah di Indonesia ada yang cenderung lebih tinggi dari bank konvensional.
Pada akhirnya, penulis menukil kembali sepenggal ayat di dalam Al Qur’an yaitu “Barangsiapa
 BERTAKWA kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
 Dan MEMBERINYA REZEKI dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS 65 
Ath-Thalaq 2-3)”. Maksudnya, orang yang BERTAKWA dijamin oleh Allah
 untuknya dengan REZEKI YANG BERLIMPAH (tanpa disangka-sangkanya). Insya
 Allah praktisi perbankan syariah senantiasa dapat menjaga kemurnian 
setiap transaksi syariah.
Wallahu’alam…
Sumber :
1. Al Qur’anul karim
2. Al Hadits
3. Issues in Managing Profit Equalization Reserves and Investment Risk Reserves in Islamic Banks (An article : V. Sundararajan, Director, Centennial Group Holdings LLC, Washington DC) 
- http://www.islamicbankingway.com/2011/01/27-profit-equalisation-reserves-per.html
- “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etnis China-Nonmuslim Menjadi Nasabah Bank Syariah dan Implikasinya terhadap Strategi Pemasaran (Studi Kasus: PT Bank Syariah Mega Indonesia”, (Thesis of Ratu Humaemah : Uiversitas Indonesia : 2006)
- http://www.jurnas.com/halaman/5/2011-10-21/186137
- http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/02/14/investment-grade-capital-inflow-dan-pengaruhnya-terhadap-perbankan-syariah-di-indonesia-di-tahun-2012/
- http://www.pewforum.org/Muslim/Muslim-Population-of-Indonesia.aspx
Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon