Rikza Adhia Nada Rezki 
Pemerintah merupakan unit operasional syariah serta wakil rakyat. 
Dalam kapasitasnya sebagai lengan operasional syariah dan negara, 
pemerintah seharusnya memenuhi semua tuntutan syariah pada orang-orang 
(seperti pengumpulan dan distribusi zakat) dan untuk melaksanakan 
kewajiban.
Akan tetapi dengan menyebarnya sistem ekonomi kapitalis di tubuh 
pemerintahan sangat susah untuk melihat sistem ekonomi yang sehat dari 
segi makro maupun mikro, terutama jika struktur pembiayaan pemerintah 
masih membutuhkan perbaikan sistem. Kapitalisme memandang bahwa 
asal-usul adanya kepemilikan suatu barang adalah terletak pada nilai 
manfaat yang melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana ia dapat 
memuaskan kebutuhan manusia. Jika suatu barang mempuanyai potensi dapat 
memuaskan kebutuhan manusia, maka brang itu sah untuk dimiliki walaupun 
haram menurut agama.
Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat batasan tata-caranya (kaifiyah-nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya (kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kekebasan (freedom/liberalism)
 di bidang pemanfaatan hak milik. Maka seseorang boleh memiliki harta 
dalam jumlah berapa saja dan diperoleh dengan cara apa saja. Sedangkan 
ekonomi Islam, menetapkan adanya batasan tatacara (kaifiyah-nya), tapi tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nya). Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan (tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shina’ah
 (industri), dan sebagainya. Seorang Muslim boleh memiliki harta berapa 
saja, sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam.
Karena itulah pemerintah di Indonesia berusaha menggunakan alternatif
 surat utang negara berbasis syariah untuk mengimbangi ketimpangan 
sistem ekonomi atau yang disebut dengan sukuk. Sukuk atau surat berharga
 investasi syariah negara adalah salah satu bentuk obligasi syariah yang
 dikeluarkan pemerintah. Menurut Peraturan no IX.A.13 Bapepam-LK, 
pengertian Sukuk adalah sebagai berikut:
Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan 
yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan
 atau tidak terbagi atas: 1) kepemilikan aset berwujud tertentu; 2) 
nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas 
investasi tertentu; atau 3) kepemilikan atas aset proyek tertentu atau 
aktivitas investasi tertentu.
Sedangkan pada hakikatnya sukuk adalah sertifikat kepemilikan atas 
suatu asset (proyek) yang dapat digunakan dalam skala besar untuk 
membiayai pembangunan. Sukuk dipandang sebagai alternatif yang lebih 
baik dari berhutang karena lebih pada fungsinya yang mengandung 
kerjasama investasi, berbagi risiko, dan keterlibatan asset (proyek 
riil) yang juga mendasari penerbitan sukuk.
Sedangkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara 
adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip 
syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik 
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Perbedaan sukuk dengan 
obligasi konvensional terletak pada prinsip bunga. Obligasi konvensional
 masih menjadikan bunga sebagai instrumen untuk meraih keuntungan. 
Sedangkan sukuk tidak, karena segala bentuk financing dan 
insvestasi memungkinkan beberapa struktur diupayakan untuk terhindar 
dari prinsip riba. Selain itu, Sukuk sendiri adalah bentuk 
sekuritasisasi asset. Sukuk harus dilandasi asset yang berwujud (tangible asset), sehingga pendapatnnya berasal dari asset yang riil dengan pemanfaatan dana yang tepat.
Pemerintah memiliki tujuan utama melalui penerbitan sukuk yakni untuk
 membiayai APBN, termasuk membiayai pembangunan proyek. Hal ini 
disebutkan dalam pasal 4 UU SBSN. Proyek yang dapat dibiayai dengan 
sukuk negara adalah sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, 
pertanian, industri manufaktur, dan perumahan.
Faktor utama yang melatarbelakangi hadirnya sukuk sebagai salah satu 
instrumen dalam sistem keuangan Islam adalah ketentuan al-Quran dan 
al-Sunnah yang melarang riba, maysir, gharar, bertransaksi dengan kegiatan atau produk haram, serta terbebas dari unsur tadlis. Sukuk
 memiliki manfaat antara lain untuk memperluas basis sumber pembiayaan 
anggaran negara, memperkaya instrumen pembiayaan fiskal, memperluas dan 
mendiversifikasi basis investor SBN, mendorong pertumbuhan dan 
pengembangan pasar keuangan syariah di dalam negeri, mengembangkan 
alternatif instrumen investasi, menciptakan benchmark di pasar 
keuangan syariah, mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara dan 
mendorong tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara.
Perbedaan Surat Utang Negara dengan SBSN terletak pada prinsip yang mendasarinya. Di dalam sukuk (SBSN), dibutuhkan underlying asset penerbitan
 sukuk didasarkan pada nilai yang sama sesuai dengan asset yang 
tersedia. Hal ini diperlukan agar menghindari riba, sebagai prasayarat 
untuk sukuk agar dapat diperdagangkan di pasar sekunder, dan untuk 
menentukan jenis struktur sukuk. Dalam UU no 19/2008, underlying asset adalah asset SBSN.   
Meskipun penggunaan dananya sama-sama berdasarkan APBN, namun 
pengembalian yang didapatkan berbeda. SBSN mendapatkan bagi hasil, capital gain, dan marjin, sedangkan SUN mendapatkan bunga dan capital gain.
 Keuntungan yang diperoleh investor dari berinvestasi dalam SBSN atau 
Sukuk Negara, antara lain merupakan investasi yang aman, karena 
pembayaran imbalan dan nilai nominal SBSN sampai dengan jatuh tempo 
dijamin oleh Pemerintah; berinvestasi sesuai dengan prinsip syariah, 
serta aman dan terbebas dari hal-hal yang dilarang syariah, seperti 
riba, gharar, dan maysir, sehingga selain aman juga 
menentramkan; memberikan penghasilan berupa imbalan atau bagi hasil yang
 kompetitif, dibandingkan dengan instrumen keuangan lain; dapat 
diperdagangkan di pasar sekunder sesuai dengan harga pasar, sehingga 
investor berpotensi mendapatkan capital gain; serta turut berpartisipasi
 serta mendukung pembiayaan pembangunan nasional.
Usaha dan kerja keras Pemerintah selama ini dalam menyediakan 
landasan hukum bagi penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) 
dapat tercapai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2008 
tentang SBSN pada 7 Mei 2008, yang mengatur tentang Sukuk yang 
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Peraturan lainnya yang mendukung 
pelaksanaan penerbitan SBSN diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan 
Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 
tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pemerintah Pusat 
memiliki kewenangan untuk menerbitkan SBSN dan dilaksanakan oleh Menteri
 Keuangan.
Dalam kurun waktu dua tahun sejak disahkannya undang-undang SBSN 
tersebut, intrumen SBSN telah mengambil peran penting sebagai salah satu
 instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 
Pemerintah telah sukses menerbitkan SBSN untuk pertama kalinya pada 
bulan Agustus tahun 2008 melalui cara bookbuilding, Sukuk Negara Ritel, 
dan SBSN Valas di pasar internasional. Selain itu, Pemerintah juga telah
 menerbitkan SBSN dengan cara lelang dan private placement.
Keberhasilan penerbitan Sukuk Negara tersebut dapat dilihat dengan 
ditandainya melalui banyaknya penghargaan yang diperoleh dari berbagai 
media keuangan internasional. Penerbitan SBSN tersebut ternyata berhasil
 menarik minat yang luar biasa dari para investor, baik dalam maupun 
luar negeri.
Sukuk telah menjadi salah satu instrumen keuangan yang juga merupakan
 bagian dari ekonomi Islam, menjadi terobosan baru yang secara praktik 
sudah dapat dirasakan manfaatnya bagi pembiayaan APBN yang lebih baik. 
Meskipun pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan Surat Utang Negara, 
namun sukuk telah terbukti lebih baik manfaatnya dalam banyak aspek. Hal
 ini secara tidak langsung bukan menghilangkan fungsi dari SUN, 
melainkan reinventing SUN itu sendiri. Sukuk menjadi substitusi yang 
melengkapi fungsi SUN.
Dengan menggunakan prinsip ekonomi berbasis syariah pada pemerintahan
 kiranya kita telah berusaha untuk mereduksi sistem ekonomi kapitalis 
dan mencegah pemborosan anggaran dengan pembiayaan APBN lewat sukuk. 
Diharapkan tidak hanya sukuk instrumen pemerintah yang mengadaptasi dari
 ekonomi syariah, namun baiknya agar secara sistemik ekonomi Islam mampu
 mereformasi sistem ekonomi kapitalis yang ada dalam tubuh pemerintah. 
Masyarakat juga diharapkan mampu membedakan fungsi dan keuntungan yang 
didapatkan dengan turut berpartisipasi pada investasi sukuk, untuk 
menunjang paradigma ekonomi yang lebih baik.
Penulis adalah mahasiswi Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) 
Tazkia, Bogor. Artikel ini adalah artikel juara pertama lomba essay 
“Indonesia Economics Festival 2012”, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara 
(STAN) bekerjsama dengan majalah Sharing.
Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon